Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Hak Kekayaan Intelektual: "The Art of Compromised"

Kompas.com - 08/02/2021, 05:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Ferianto

HAK Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai rezim perlindungan hukum atas kekayaan intelektual berupa invensi (penemuan) bidang teknologi; ilmu pengetahuan, seni, dan sastra; tanda pembeda untuk produk barang atau jasa; desain suatu produk; desain peletakan komponen semi konduktor; serta varietas hasil pemuliaan, memang lahir dan berkembang di negara barat.

Kawasan negara tersebut yang didominasi negara maju lebih sering memanfaatkan rezim ini sebagai alat perlindungan dan perdagangan karena mereka merupakan produsen sekaligus pemilik HKI.

Sebagian besar perspektif dari negara-negara tersebut dalam memberikan justifikasi pembenaran tentang sistem HKI adalah perspektif jaminan perlindungan hukum secara eksklusif, perspektif inovasi yang berkelanjutan, perspektif penghargaan atas suatu karya, serta perspektif ekonomi dan kesejahteraan yang cenderung untuk para produsen/pemilik HKI.

Pandangan dari para produsen/pemilik HKI tersebut sejalan dengan Teori Hak Alami (Natural Right Theory) yang mengungkapkan bahwa seorang pencipta/penemu mempunyai hak untuk mengontrol penggunaan dan keuntungan dari karya intelektual yang telah dihasilkan bahkan sesudah karya tersebut diungkapkan kepada masyarakat.

Baca juga: Hak Kekayaan Intelektual Kunci Gerakkan Ekonomi Kreatif

Selanjutnya, teori tersebut melahirkan dua pendekatan yaitu First Occupancy dan A Labor Justification. First Occupancy adalah seseorang yang menemukan atau mencipta sebuah karya berhak secara moral terhadap penggunaan eksklusif atas karya tersebut.

A labor justification merupakan seseorang yang telah berupaya menghasilkan karya intelektual seharusnya berhak mendapatkan manfaat secara ekonomi atas karyanya tersebut.

Implementasi dari teori ini adalah bahwa hak yang dimiliki oleh pemilik/produsen HKI adalah bersifat eksklusif baik secara hak ekonomi maupun hak moral bahkan peluang hak memonopoli HKI secara peraturan diberikan oleh negara dalam batasan tertentu.

Teori Hak Alami sebagai salah satu dasar pembenaran sistem HKI berimplikasi kepada keistimewaan dan eksklusifitas yang lebih condong kepada negara/produsen/pemilik HKI. Hal ini secara teori adalah wajar dan fair karena produsen/pemilik HKI tentu telah mencurahkan segala sumber daya dalam menghasilkan kekayaan intelektualnya baik dana, waktu, sumber daya manusia, keahlian dan pengetahuannya.

Namun, pada praktiknya, implementasi Teori Hak Alami yang dominan akan memunculkan batasan dan hambatan kepada negara pengguna HKI yang didominasi oleh negara berkembang.

Negara tersebut dalam memperoleh akses terhadap HKI harus mengeluarkan biaya dan usaha yang relatif tinggi sehingga terkadang memunculkan ketidakadilan dalam pemanfaatan dan penggunaan HKI.

Selanjutnya, untuk menyeimbangkan atas kondisi tersebut, lahirlah Utilitarian Theory yang menjelaskan bahwa negara harus membuat kebijakan terkait HKI yang bermaksud mengatur akses masyarakat terhadap HKI sehingga pemanfaatannya dapat optimal.

Teori ini secara implisit bertujuan untuk memberikan manfaat secara adil dan seimbang antara pemilik HKI dengan masyarakat. Teori ini memberikan kesempatan dan akses yang lebih luas kepada negara pengguna HKI untuk memanfaatkan HKI dari produsen HKI yang mana akses dan kesempatan lebih luas diatur dalam undang-undang atau peraturan terkait lainnya di negara pengguna HKI.

Peraturan yang mengatur perluasan akses dan kesempatan penggunaan HKI tentunya tetap mengacu pada ketentuan internasional yaitu Trade Related Aspects on Intellectual Properties (TRIP’sAgreement).

Contoh konkrit atas penerapan asas kesimbangan dalam sistem HKI tersebut, dapat terlihat dalam UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten, dalam kondisi keadaan tertentu misalnya kedaruratan nasional, pertahanan dan keamanan, wabah penyakit menular, untuk kepentingan dan keselamatan publik, maka hak eksklusif dari teknologi yang dilindungi paten dapat dikurangi melalui akses Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah.

Perluasan akses melalui dua jalur tersebut diatur dalam peraturan lebih lanjut.

Baca juga: Government Use, Alternatif Solusi untuk Kemandirian Vaksin Covid-19

Contoh lain, dalam UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, diatur bahwa hak eksklusif yang melekat dalam pemegang/pemilik hak cipta dapat direduksi dan diberikan kesempatan yang lebih luas untuk digunakan oleh masyarakat tanpa harus membayar royalti misalnya penggunaan karya hak cipta untuk kepentingan Pendidikan, Pelatihan, Penelitian yang mana penggunaan karya cipta tersebut tetap harus menghormati hak moral dari Pencipta.

Dengan memahami konsep HKI secara utuh, maka sebenarnya HKI memberikan banyak manfaat dan peluang bagi produsen maupun pengguna HKI. Pertentangan yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa jika suatu karya sudah dilindungi HKI-nya maka dibutuhkan biaya yang relatif mahal untuk mengaksesnya dapat dikurangi.

Penggunaan karya ber-HKI adalah hak bagi setiap masyarakat dimana masyarakat diberikan pilihan-pilihan bahwa mengakses HKI dapat dilakukan dengan mekanisme alih teknologi (penggunaan berbayar dengan lisensi), akses yang tak berbayar melalui jalur yang telah diberikan oleh Undang-Undang mengenai pengecualian atas hak eksklusif HKI.

Meskipun, dalam akses HKI melalui alih teknologi namun biaya lisensi adalah hasil proses negosiasi yang seimbang dan proporsional antara pemilik dan calon pengguna HKI. Selain itu, sifat perlindungan HKI adalah memiliki batasan.

Setelah jangka waktu perlindungan habis dan tidak ada mekanisme perpanjangan, maka HKI tersebut telah habis hak eksklusifnya secara ekonomi (public domain). Pengguna dapat mengeksploitasi secara ekonomi HKI yang telah public domain tanpa harus membayar sejumlah royalti/biaya lisensi. Namun, perlu selalu diingat bahwa hak moral tetap akan melekat selamanya kepada pencipta/penemu/pendesain/pemulia tanaman.

Pemahaman yang utuh dan mendasar dari konsep HKI ini akan memberikan jalan bagi rezim HKI bahwa sebenarnya HKI adalah sangat dekat dan memberikan banyak manfaat kepada masyarakat.

Baca juga: Hak Kekayaan Intelektual Penting untuk Brand Lokal

Kesan monopoli dan eksklusif dari HKI yang membuat bahwa konsep perlindungan HKI adalah tidak relevan khususnya di negara berkembang adalah tidak tepat. Negara berkembang justru harus mengoptimalkan pemanfaatan atas HKI dengan segala jalur pilihan pemanfaatannya sehingga mampu menjadi sumber inspirasi untuk inovasi yang berkelanjutan.

Negara pengguna dapat memanfaatkan HKI tanpa harus memulai riset dan pengembangan dari awal yang akan menghabiskan banyak biaya, tenaga dan waktu. Lebih jauh, daya saing dan keunggulan suatu negara salah satunya ditentukan oleh HKI yang dihasilkan dan dimanfaatkan.

Jangan sampai negara berkembang, termasuk Indonesia hanya menjadi destinasi pasar dan permohonan HKI dari luar negeri. Kita juga harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri bahwa selain menjadi pengguna HKI kita juga harus menjadi produsen HKI.

Akhirnya, penghargaan kepada pemilik/produsen HKI tetap harus dijamin secara hukum namun tanpa meninggalkan keadilan mesyarakat luas untuk tetap diberikan kesempatan akses yang lebih mudah atas HKI melalui perangkat peraturan yang mendukung.

Jika konsep keseimbangan ini dapat dipertemukan dengan adil dan proporsional maka akan menumbuhkan sistem perlindungan HKI yang ideal dan mampu menumbuhkan iklim inovasi dan persaingan yang sehat.

Sikap “sinis” terhadap monopoli dan eksklusif HKI yang selama ini mungkin masih dipahami oleh sebagian pihak, telah dapat dikikis melalui penerapan asas keseimbangan dalam rezim HKI. Intellectual Property is the art of compromised.

Ferianto
Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi LIPI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com