Daerah manakah di Indonesia yang sudah menerapkan program Kargo Konsolidasi ini di masa pandemi sebagai bagian dari PEN?
Sejumlah daerah di Indonesia sebenarnya mulai mempromosikan konsolidasi kargo, sejak masa pandemi tahun lalu. Sebagai contoh, Kantor Bea Cukai Makassar, Sulawesi Selatan sudah “mempromosikan” Konsolidasi Kargo ini sejak Oktober 2020 dengan menggunakan tagline ”Ekspor itu Mudah” untuk mendorong UMKM di Indonesia Timur agar memanfaatkan sejumlah kemudahan dalam ekspor.
Daerah lain juga mulai mempromosikan konsolidasi kargo, sepeti halnya Kantor Bea Cukai Belawan dan Bekasi. Namun masih banyak UMKM yang belum mengetahui dan memanfaatkannya, karena sejumlah alasan ketidaktahuan/kurangnya informasi/kurang intensifnya pihak terkait termasuk Bea Cukai dalam “memasarkan” fasilitas ini kepada UMKM eksportir di daerah.
Namun, upaya pemanfaatan program ini, khususnya di Sulawesi Selatan belum berjalan sebagaimana mestinya, karena belum mendapat sambutan baik dari UMKM eksportir.
Dari sisi manfaat program ini sangat membantu UMKM untuk bisa menembus pasar ekspor dengan lebih mudah dan lebih murah.
Dalam sebuah wawancara yang kami lakukan dengan kantor Bea Cukai Makassar, tampaknya “marketing” dari konsolidasi kargo ini masih terbatas, belum ada koordinasi dan gerak bersama dari para pemangku kentingan lainnya seperti Dinas Perdagangan, Dinas Industri, Dinas UMKM - Koperasi dan lainnya. Gayung yang diayunkan oleh Kantor Bea Cukai Makassar sepertinya belum disambut baik.
Kargo penerbangan langsung
Selain Konsolidasi Kargo, ada juga model pengiriman ke pasar luar negeri yang bisa dijadikan model di masa pandemi ini. Model tersebut adalah Direct Flight Cargo (DFC) yang dimotori oleh Garuda Indonesia.
Sebagai contoh adalah DFC Garuda Indonesia dari Makassar tujuan Singapura. Inisiasi DFC ini juga muncul di saat pandemi, yang pada awalnya satu kali direct flight per minggu sekarang menjadi dua kali.
Barang yang diangkut sampai saat ini baru sebatas ikan dan kepiting hidup dengan tujuan Singapura. Produk perikanan ini berasal dari Makassar dan sejumlah tempat pemasok seperti Ambon dan Papua. Untuk penerbangan cargo dari Ambon/Papua biasanya datang di Bandara Makassar sekitar pukul 10 pagi dan dilanjutkan dengan DFC Makassar - Singapura.
Kapasitas DFC ini baru terisi sekitar 50%. Eksportasi model DFC ini tentu bisa dijadikan role model di masa pandemi, ketika penerbangan penumpang terpuruk, UMKM juga terpuruk; maka langkah yang tidak biasa harus diprmosikan untuk menggerakkan perekonomian daerah dan nasional.
Baca juga: Kabar Gembira bagi UMKM Eksportir Pemula, Garuda Bakal Diskon 50 Persen Tarif Kargo
Non-Tariff Measures (NTMs)
Dalam eksportasi dari Makassar selama ini, khususnya untuk pengiriman Direct Flight Cargo, belum pernah terjadi permasalahan untuk urusan NTMs seperti karantina, baik di daerah asal Maluku/Papua/Makassar maupun di negara tujuan Singapura. Dari sini kita bisa belajar bahwa ketika eskportir menyadari akan persyaratan sertifikasi yang harus dipenuhi terkait kesehatan lingkungan, manusia, tumbuhan dan hewan (Sanitary PhytoSanitary) dan persyaratan lainnya, dan pihak terkait khususnya Badan karantina di daerah/Bea Cukai ikut memberikan edukasi dan informasi kepada UMKM; maka permasalahan NTMs di negara tujuan ekspor bisa dihindari atau bisa diselesaikan dengan baik tanpa ada pihak yang dirugikan.
Dalam konteks ekspor produk pertanian memang pernah terjadi komplain dari pembeli di negara tujuan ekspor yaitu di Timur Tengah, bukan karena masalah ketidakmampuan pemenuhan sertifikasi tetapi karena perbedaan spek yang diminta dan yang dikirimkan.
Untuk kasus ini, solusi yang diambil oleh kedua belah pihak adalah melakukan negosiasi ulang tentang harga. Solusi ini tentu lebih baik dibandingkan harus mengirim balik kontainer ke Indonesia.