Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akademisi: Jangan Paksakan PPN Jadi Instrumen Keadilan

Kompas.com - 14/07/2021, 06:47 WIB
Fika Nurul Ulya,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana mengubah skema tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi multitarif.

Adapun skema multitarif yakni mengenakan tarif PPN lebih rendah untuk barang kebutuhan pokok dan tarif yang lebih tinggi untuk barang mewah. Hal ini diyakini bakal menciptakan asas keadilan antara si kaya dan si miskin.

Namun Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Haula Rosdiana meminta pemerintah tidak memaksakan PPN menjadi instrumen keadilan.

Sebab menurut Haula, PPN adalah pajak tidak langsung (indirect tax).

"Jangan paksakan PPN sebagai instrumen keadilan. Kalau dilihat dari naskah akademik memang sangat menarik bagaimana (revisi tarif) ingin supaya (pemerintah) melakukan keadilan," kata Haula dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi XI DPR RI, Selasa (13/7/2021).

Baca juga: Perancis Denda Google Rp 8,7 Triliun, Ini Penyebabnya

Sebagai pajak tak langsung, PPN dinilai tidak memperhatikan individu/konsumen yang membeli barang/jasa.

Artinya, PPN tidak bisa menentukan mana objek pajak yang seharusnya dikenakan tarif lebih tinggi dan mana yang dikenakan tarif lebih rendah.

Hal ini dinilai berbeda dengan pajak penghasilan (PPh) yang memperhatikan pendapatan minimum objek kena pajak.

"Memaksakan PPN menjadi instrumen keadilan sampai kapanpun sulit dilakukan, karena PPN adalah pajak tidak langsung. Mana ada orang kalau ke supermarket ditanya KK-nya, ditanya KTP," tutur Haula.

Tak hanya itu, pemerintah juga dinilai perlu pertimbangkan dampak kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen terhadap harga pangan.

Baca juga: Faisal Basri soal PPN: Bereskan dulu Korupsi dan High Cost Economy...

Beberapa hal yang bisa menjadi bahan pertimbangan, antara lain kondisi daya beli masyarakat saat ini, keserasian dengan misi pemerintah mendorong daya beli, dan policy cost PPN.

"Jangan salahkan rakyat kalau gundah karena memang di pasal 4A ayat 2 huruf D dihapuskan pengecualian barang yang merupakan kebutuhan masyarakat. (Artinya) menjadi barang kena pajak, maka wajar terjadi kegundahan dari masyarakat (saat isu bocor)," beber dia.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, naiknya tarif PPN bukan berarti pemerintah tidak memihak rakyat kecil.

Meski PPN pada barang/jasa tertentu naik, pihaknya akan tetap menjaga masyarakat miskin dengan subsidi-subsidi menggunakan instrumen belanja negara.

Hal ini juga berlaku untuk layanan publik yang krusial, seperti jasa pendidikan dan jasa kesehatan.

Menurut dia, subsidi yang langsung menyasar kepada orang miskin akan lebih adil dibanding memberikan PPN 0 persen yang bisa dinikmati semua orang.

"Tapi untuk membelanjakan secara cukup kita butuh pendapatan dari pajak. Dan semua ini kita akan membahasnya dulu. Implementasi bergantung pada seberapa cepat pemulihan ekonomi," sebut Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

Baca juga: Daging Sapi dan Beras Premium Akan Dikenakan PPN

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com