Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Aulia

Awardee Program Doktoral LPDP, Analis Kementerian Keuangan

Menimbang Risiko dan Manfaat Utang Pemerintah di Era Pandemi

Kompas.com - 02/08/2021, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tercatat telah diberikan insentif bagi lebih dari satu juta tenaga kesehatan, biaya perawatan 184 ribu pasien Covid-19, dan pengadaan 37,78 juta dosis vaksin, bahkan telah pecah rekor pemberian lebih dari satu juta vaksin sehari.

Sebagai gambaran, kajian Kemenkes menunjukkan rata-rata biaya perawatan pasien Covid-19 mencapai Rp 184 juta dengan rata-rata lama perawatan 16 hari. Jumlah ini dapat membengkak seiring penambahan lama masa perawatan.

Pemerintah juga telah mengeluarkan nominal cukup besar untuk menciptakan efek multiplier dan menjaga momentum pemulihan ekonomi.

Dana sebesar Rp 216 triliun telah dikucurkan tahun lalu untuk program perlindungan sosial yang bertujuan menjaga daya beli kelompok rentan.

Estimasi Bank Dunia menunjukkan bahwa tanpa program bantuan sosial, 8,5 juta penduduk Indonesia di tahun 2020 dapat jatuh miskin akibat pandemi.

Baca juga: Perjalanan Lonjakan Utang Pemerintah di 2 Periode Jokowi

 

Di sisi dukungan bagi dunia usaha, Pemerintah telah menyalurkan masing-masing sebesar Rp 112 triliun dan Rp 60 triliun untuk UMKM dan korporasi dalam bentuk bantuan modal dan penjaminan modal kerja.

Sementara itu, insentif perpajakan senilai Rp 58 triliun telah diberikan untuk menjaga kelangsungan dunia usaha dan daya beli masyarakat.

Komitmen Pemerintah untuk melanjutkan program PEN di tahun 2021 naik menjadi Rp 699 triliun dibanding Rp 695 triliun di 2020. Namun, efek kebijakan stimulus pada risiko pembiayaan terus menjadi perhatian mengingat sebagian besar tambahan belanja tersebut dibiayai oleh utang Pemerintah.

Per akhir 2020, utang Pemerintah tercatat sebesar Rp 6.079,2 triliun. Sementara itu, APBN TA 2021 menargetkan defisit 5,07 persen atau sebesar Rp 1.006,4 triliun, dimana hal ini diprediksi akan mengerek rasio utang pemerintah sedikit di atas 40 persen PDB.

Debat Lama

Peningkatan utang Pemerintah di masa pandemi yang sedang ramai saat ini seakan memperbarui debat lama tentang kemampuan Pemerintah membayar kewajibannya.

Namun, ada beberapa hal yang dapat menjadi pijakan bersama dalam dialektika tersebut.

Pertama, respon kebijakan Pemerintah untuk menangani pandemi bersifat sementara dan ditujukan sebagai jump start pemulihan ekonomi.

Pemerintah sendiri berkomitmen untuk mengembalikan rasio defisit pada level di bawah 3 persen PDB di tahun 2023 dan menjaga rasio utang per PDB di bawah batas 60 persen sesuai amanat UU Keuangan Negara.

Sebelum pandemi, Pemerintah-pun sebenarnya telah melakukan konsolidasi fiskal. Hal ini terlihat dari tren penurunan defisit keseimbangan primer, dimana tahun 2018 hampir mendekati nol dan tren penurunan defisit APBN, dimana APBN 2020 sebelum pandemi ditargetkan 1,76 persen PDB.

Kedua, kenaikan cukup signifikan utang Pemerintah di era pandemi menjadi langkah yang harus diambil oleh negara manapun. Semua seakan berkejaran dengan waktu untuk melindungi rakyatnya dan memulihkan ekonomi dengan berbagai stimulus.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com