Keempat, Sutrisno bilang ketujuh asosiasi tidak setuju jika penyidik pajak diberi kewenangan penangkapan sebagaimana dalam RUU KUP. Hal ini sangat kontra produktif terhadap upaya untuk mengembangkan kegiatan usaha.
Menurutnya, semangat UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah mendorong penciptaan lapangan kerja, tetapi malah terancam oleh ketentuan pidana sehingga hal ini menjadikan UKM terdemotivasi.
“Kita justru memerlukan iklim usaha yang sehat yaitu menciptakan kenyamanan berusaha bukan dengan menciptakan ketakutan,” kata dia.
Di sisi lain, tujuh asosiasi/komunitas tersebut mengusulkan ambang batas penjualan omset bruto tahunan dinaikkan dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi Rp 15 miliar. Tujuannya selaras dengan kriteria UU Cipta Kerja yang saat awal disusun memberikan iming-iming pemerintah mendorong UMKM.
Ia menjelaskan, usulan tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan bahwa angka Rp 4,8 miliar udah berlangsung hampir 10 tahun. Sehingga diperlukan penyesuaian akibat inflasi dan perkembangan ekonom.
Baca juga: BLT UMKM Bakal Dilanjutkan di 2022? Ini Kata Menkop Teten
“Di samping itu kriteria usaha mikro dan kecil sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja sebagaimana diperjelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021,” kata dia.
Ketua Hipmikindo Syahnan Phalipi menambahkan, selain adanya usulan tersebut, Kementerian Keuangan dan DPR juga perlu memperhatikan bahwa lebih dari 50% UMKM mengalami masalah restructuring bertumpuk, sejalan dengan berlangsungnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berjalan hampir 2 bulan.
“Kalau mereka bertambah jumlahnya kondisi mereka lagi sulit untuk recovery kemudian kita terus melakukan perubahan UU yang memberatkan dan tidak memberikan iklim yang baik ke pengusaha bangkit cepat,” kata Syahnan dalam acara tersebut. (Yusuf Imam Santoso | Noverius Laoli)
Baca juga: Menkop UKM: Permintaan Ekspor Produk UMKM Tinggi, tetapi...
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul: 7 Asosiasi UMKM tolak empat rencana kebijakan dalam RUU KUP