Salah satu langkah tepat menurut Komaidi adalah kebijakan pengeboran eksplorasi oleh pemerintah (government drilling) karena akan mengurangi risiko pengembang yang sangat tinggi di masa-masa awal pembangunan pembangkit panas bumi.
Pengembang mesti mengeluarkan biaya operasional sampai 7-10 tahun, sementara pendapatan baru muncul paling cepat pada tahun ke-8.
“Pengembang harus punya pendanaan sendiri yang kuat karena tak mudah mencari financing dari perbankan. Dengan government drilling, risiko pengembang di awal masa pembangunan diambilalih pemerintah,” lanjutnya.
Selain itu, ada kebijakan lain yang perlu dilakukan pemerintah menyangkut pasar. Dia bilang, pemerintah harus mengubah pasar yang bersifat monopsoni menjadi pasar terbuka, sehingga pengembang bisa menjual listrik kepada siapa saja. Konsumen juga bisa membeli listrik kepada pengembang mana saja.
“Untuk itu, jaringan transmisi dan distribusi juga harus diubah menjadi open access seperti pada gas dan sistem kelistrikan di banyak negara. Pengembang tinggal membayar sewa kepada pemilik jaringan transmisi dan distribusi,” ujar Komaidi.
Dengan model seperti itu, maka harga yang terbentuk bisa lebih kompetitif. Dia mencontohkan Unilever, yang mana sejak 1 Januari 2020, sudah membangun fasilitas pembangkit listrik tenaga surya di seluruh pabrik, kantor, fasilitas riset dan pengembangan, pusat data, gudang, dan pusat distribusi di 23 negara.
“Hal ini sulit dilakukan di Indonesia karena sistem yang ada mengharuskan Unilever menjual listrik ke PLN dan kemudian membelinya kembali dari PLN. Selama kita punya kebijakan energi bersih yang acceptable di pasar dan konsisten dilaksanakan, kita tidak perlu khawatir soal pendanaan,” kata Komaidi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.