Selanjutnya, di bawah agenda setting oligarkis seperti itu akhirnya aglomerasi modal hanya akan berpusat di lingkaran segelintir elite ekonomi (konglomerasi/oligarki), terutama yang mampu menjamin ketersediaan dana bagi para punggawa kekuasaan yang ingin mengongkosi kontestasi demokrasi yang super mahal.
Sudah bisa dipastikan, relasi ekonomi politik koruptif seperti itu akan menjadi biang perlambatan pembangunan dan meningkatkan disparitas antara kalangan berada (the have) dengan kalangan papa (the have no) alias minimnya pemerataan di satu sisi, tapi membahagian pada punggawa kuasa dan para oligarki pencari rente di sisi lain.
Hasil dari ketidaksempurnaan pasar yang dieksploitasi oleh para pencari rente dan elite kekuasaan tersebut adalah disparitas pendapatan yang menyakitkan.
Kian hari, daftar 50 orang terkaya Indonesia berlomba menambah hartanya untuk mengejar peringkat tertinggi versi majalah Forbes, misalnya.
Kecepatan penambahan harta mereka berlipat dibanding peningkatan gaji pekerja atau standar hidup rakyat kebanyakan.
Mereka seolah-olah berlompa mengokupasi kavling demi kavling kekayaan nasional Indonesia atas nama prestise dan kebanggaan diri, bersamaan dengan elite-elite kekuasaan yang kian cenderung berposisi sebagai penjaga pertumbuhan harta kekayaan para oligar demi lancarnya pembiayaan politik di satu sisi dan konstribusi pada pendapatan negara di sisi lain, yang notabene disalurkan secara tidak adil di sisi lain.
Namun lucunya, pemerintah cenderung berwatak "sosialis" di saat para pembesar bisnis mulai mengalami "gagal pasar," dan sangat "liberal kapitalis" kepada rakyat di saat yang sama, dengan melepas kran-kran proteksi pada bidang dan produk yang semestinya diproteksi atas nama kepentingan publik.
Skandal BLBI adalah salah satu contoh betapa "sosialis"-nya pemerintah kepada para pembesar bisnis, atau penanaman modal negara pada BUMN dari tahun ke tahun yang nominalnya hampir selalu lebih besar ketimbang kontribusi langsung BUMN pada pendapatan negara.
Atau alokasi dana PEN yang angkanya jauh lebih besar untuk para pengusaha ketimbang untuk rakyat, mengalokasikan ratusan triliun rupiah untuk ambisi megalomaniak ibu kota baru ketimbang mengurusi perut rakyat.
Lalu, perundangan-perundangan baru yang cenderung menaikan rasa percaya diri para pembesar bisnis ketimbang kepercayaan diri rakyat kebanyakan, dan seterusnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.