Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

Bom Waktu di Penerbangan Indonesia

Kompas.com - 12/06/2022, 06:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dengan demikian, pernyataan dari Kementerian Perhubungan bahwa kenaikan avtur menjadi faktor penyebab terbesar harga tiket naik, tidak sepenuhnya benar.

Karena saat ini tingkat keuntungan maskapai lebih besar dari keuntungan yang disyaratkan dalam perhitungan pada PM 20/2019.

Apakah ini kesalahan maskapai? Tidak! Maskapai menjual tiket sesuai tarif yang telah ditetapkan pemerintah.

Alasan yang logis adalah maskapai saat ini berusaha memulihkan pendapatan dan aliran dana (cash flow) setelah finansial mereka terdampak dahsyat oleh pandemi covid-19.

Jumlah pesawat

Pandemi Covid-19 menyebabkan kondisi finansial maskapai turun tajam karena jumlah penumpang yang diangkut juga turun hingga tersisa sekitar 40 persen.

Akibatnya maskapai kekurangan dana untuk membayar sewa atau melunasi biaya perawatan pesawat. Maka pesawat ditarik oleh lessor atau ditahan oleh bengkel (MRO).

Kondisi ini sebenarnya bisa sedikit diatasi jika sejak awal pandemi pemerintah memberi perhatian serius kepada maskapai.

Pemerintah mungkin tidak boleh membantu finansial langsung kepada maskapai, kecuali maskapai BUMN. Tapi seharusnya pemerintah bisa membantu maskapai saat negosiasi dengan lessor atau MRO.

Bantuan dari pemerintah bisa menjadi jaminan untuk menyakinkan lessor dan MRO bahwa maskapai tersebut masih akan hidup selama dan pascapandemi.

Pemerintah juga seharusnya bisa membuat kebijakan terkait pengangkutan menggunakan pesawat secara adil selama pandemi sehingga maskapai tidak saling bersaing dengan menurunkan harga serendah mungkin.

Dengan pembagian yang adil, maka tiap maskapai tetap akan mendapat pemasukan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Kebijakan pemerintah yang melonggarkan penggunaan kabin pesawat untuk mengangkut kargo, memang baik. Namun hal tersebut ternyata kurang dari cukup untuk membuat cash flow maskapai lancar.

Baiklah, nasi sudah menjadi bubur. Jumlah pesawat sudah berkurang drastis. Namun ini bukan berarti kiamat penerbangan.

Justru pada saat inilah maskapai bisa melakukan restrukturisasi bisnis. Rute-rute yang kurang bagus bagi pesawat jet, bisa dilempar ke pesawat turboprop.

Pesawat yang biasanya hanya dipakai 3-4 jam sehari, bisa dimaksimalkan lagi menurut perhitungan masing-masing. Dengan restrukturisasi ini tingkat LF juga akan lebih tinggi.

LF yang tinggi membuat pemasukan maskapai lebih besar sehingga krisis finansial bisa cepat diatasi. Harga tiket pesawat akan bisa turun lagi.

Memang akan ada rute yang berkurang frekuensi penerbangannya atau bahkan ditutup sementara. Namun nanti kalau maskapai sudah kuat dan permintaan masyarakat meningkat, pasti frekuensi penerbangan akan naik.

Rute penerbangan komersial yang ditutup, untuk sementara seharusnya bisa diterbangi oleh penerbangan perintis yang disubsidi pemerintah.

Pemerintah tidak perlu risau, namun cukup membuat kebijakan yang dapat digunakan maskapai untuk mempercepat pemulihan finansial maskapai.

Membuat iklim bisnis yang adil sehingga semua maskapai bisa tumbuh dan berkembang serta dapat menarik investor baru ke bisnis ini.

Pasar monopoli

Iklim bisnis penerbangan saat ini memang mengkhawatirkan, bahkan dalam kenyataannya sudah masuk pada pasar monopoli.

Ada satu group maskapai yang mempunyai kekuatan armada, jumlah rute dan jaringan serta tentu saja pangsa pasar dan jumlah penumpang yang sudah lebih dari 60 persen pangsa pasar nasional.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com