Harga avtur rata-rata per barrel menurut Asosiasi Maskapai Penerbangan Internasional (IATA) pada tahun 2019 adalah 79 dollar AS dan tahun 2022 saat ini sekitar 138 dollar AS. Artinya ada peningkatan sekitar 60 dollar AS atau 88 persen.
Lalu kita coba simulasikan dengan tata cara perhitungan tarif pesawat dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 20 tahun 2019.
Dalam peraturan tersebut, perhitungan tarif diambil dari perhitungan biaya operasi pesawat. Untuk pesawat jet, hasil total perhitungan biaya operasional ditambah 5 persen keuntungan maskapai merupakan tarif dasar dengan ketentuan bahwa perhitungan tersebut menggunakan tingkat keterisian penumpang pesawat 65 persen.
Tarif dasar kemudian dikalikan dengan jarak rute sehingga menghasilkan tarif batas atas (TBA). Dengan demikian, TBA Jakarta- Surabaya berbeda dengan Jakarta-Medan karena jaraknya juga berbeda.
Jadi jika pesawat jet maskapai terisi penumpang (load factor/ LF) 65 persen dan maskapai menerapkan TBA, maka maskapai masih akan dapat keuntungan 5 persen.
Kenyataanya sekarang, selain menerapkan TBA, tingkat keterisian pesawat rata-rata sudah hampir mendekati 100 persen atau boleh dibilang sekitar 90 persen.
Sekarang mari kita hitung secara kasar memakai angka-angka yang mudah dimengerti untuk mengukur antara biaya dan pendapatan maskapai.
Memakai ketentuan PM 20/ 2019, pendapatan maskapai adalah 65 (LF) x 100 (TBA) yaitu 6.500.
Jika harga avtur naik 90 persen, maka biaya avtur yang semula 35 (dari total biaya operasi) bertambah 35 x 90 persen = 31,5. Dengan dengan demikian total biaya menjadi 65 x (100 +31,5) = 8.547,5.
Pendapatan saat ini 90 (LF) x 100 (TBA) = 9.000. Jadi masih ada keuntungan sekitar 450 atau sekitar 7 persen dari tarif dasar. Ditambah keuntungan dari perhitungan tarif dasar 5 persen, maka keuntungan maskapai penerbangan saat ini sekitar 12 persen.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.