Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Efek Perang Ukraina, Euro Setara Dollar AS untuk Kali Pertama sejak 2002

Kompas.com - 13/07/2022, 06:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Laporan lapangan kerja yang menohok di Amerika Serikat pada pekan lalu, misalnya, menyarankan negara dengan perekonomian terbesar dunia tersebut untuk mengatasi gejolak ekonomi saat ini menggunakan kebijakan suku bunga The Fed yang lebih tinggi lagi.

Baca juga: The Fed Agresif Naikkan Suku Bunga Acuan, Respons Pasar, dan Dampaknya bagi Indonesia

Masalahnya, menaikkan kembali suku bunga acuan tersebut berpeluang juga untuk memberi bank sentral ruang yang lebih banyak untuk melanjutkan pengetatan moneter. Bila terjadi pengetatan lanjutan dan terlalu jauh, kontraksi ekonomi pun dipastikan bisa terjadi.

Sebelum ini, kenaikan agresif suku bunga acuan The Fed telah pula memberi tekanan terhadap euro. Dollar AS telah melonjak lebih dari 14 persen terhadap euro sejak awal tahun.

Data inflasi di AS yang dirilis pada Rabu (13/7/2022) diyakini juga dapat memperkuat argumen bagi The Fed untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya secara agresif.

"Untuk mengantisipasi itu, investor telah mundur ke dollar AS yang aman sekali lagi, menjauhi aset berisiko demi aset surga", kata analis pasar Craig Erlam di platform perdagangan OANDA.

Bank sentral telah meningkatkan biaya pinjaman dalam upaya untuk menjinakkan inflasi, yang telah didorong oleh melonjaknya harga energi.

Harga minyak dan gas telah meroket tahun ini seturut pembukaan kembali ekonomi selepas pandemi global Covid-19 yang disusul invasi Rusia ke Ukraina. Kedua situasi memicu kekhawatiran atas kecukupan pasokan energi global, terutama Eropa. 

Namun, situasi dengan cepat berbalik oleh sebab yang sama. Kali ini dinamika geopolitik memunculkan kekhawatiran resesi yang bakal mengaburkan prospek permintaan minyak pada jangka pendek.

Pasar minyak berjangka Brent ditutup di bawah 100 dollar AS per barrel untuk kali pertama dalam tiga bulan perdagangan terakhir. Kontrak internasional untuk pengiriman September 2022 turun 7,1 persen menjadi 99,49 dollar AS per barrel. 

Sementara itu, harga minyak di pasar patokan Amerika Serikat, West Texas Intermediate (WTI), ditutup turun 7,9 persen menjadi 95,84 dollar AS per barrel.

"Penurunan kurs mata uang meningkatkan kekhawatiran bahwa Eropa akan mengalami resesi, dan bahwa mereka harus menaikkan suku bunga, yang dapat memperlambat permintaan minyak," kata Andy Lipow dari Lipow Oil Associates. "Ada juga kekhawatiran tentang (kemungkinan kembali ada) penutupan di China."

Terlepas dari kekhawatiran tentang melemahnya prospek ekonomi, analis telah pula memperingatkan bahwa persediaan minyak global saat ini terpantau rendah berdasar standar historis. Ini berarti pasar sewaktu-waktu dapat mengalami kesulitan memenuhi permintaan begitu ada gangguan pasokan. 

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com