Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herry Darwanto
Pemerhati Sosial

Pemerhati masalah sosial. Bekerja sebagai pegawai negeri sipil sejak 1986 hingga 2016.

Mengonsep Reforma Agraria

Kompas.com - 01/10/2022, 08:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Padahal reforma agraria adalah salah satu program strategis nasional yang dicanangkan Presiden Jokowi pada awal periode pertama pemerintahannya.

Ditetapkannya Perpres No 86/2018 tentang Reforma Agraria adalah bukti pemenuhan komitmen yang dapat diapresiasi. Begitu juga capaian redistribusi lahan pada awal implementasinya.

Data BPN menunjukkan bahwa dari 4,5 juta hektar lahan yang ditargetkan, baru 1,5 juta hektar yang berhasil didistribusikan, yaitu yang berasal dari eks Hak Guna Usaha (HGU), tanah telantar dan tanah negara lainnya, serta pelepasan kawasan hutan (Kompas.com, 2/9/2022).

Namun pada tahun-tahun terakhir ini progres redistribusi lahan seakan mengalami kendala berat. Padahal luasan lahan yang berpotensi untuk diredistribusikan cukup besar.

Pada era Presiden SBY diinformasikan ada 8,15 juta hektar lahan kawasan hutan yang diidentifikasi dapat dibagikan kepada subyek reforma agraria (paparan Kepala BPN di Kantor Presiden, 22/3/2007).

Lahan ini mestinya masih ada sehingga tinggal dipastikan batas-batasnya untuk dibagikan kepada petani yang berhak.

Mendata lahan hutan di era serba komputer saat ini tidak terlalu sulit. Yang sulit adalah menyerahkan informasi itu kepada instansi lain yang mengurus pendistribusian lahan.

Hal ini diungkapkan Presiden Jokowi saat memberikan pengarahan pada pertemuan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di Wakatobi, Juni lalu.

Begini ucapan Presiden:

”Ternyata ributnya antarkementerian. Ndak bisa, Pak, ini haknya KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) juga. Ndak bisa, Pak, ini adalah kawasan hutan lindung karena di sana ada koral, ada terumbu karang, itu hak kami.” ”Itu cukup. Stop! Persoalan dimulai dari sini. Semua harus membuka diri. Ini saatnya, di forum ini, kita hancurkan tembok sektoral,” (Kompas.id, 10/6/2022).

Tentunya dengan sentilan Presiden itu, kementerian terkait akan mengubur ego sektornya sehingga program reforma agraria dapat terlaksana dengan mulus.

Namun kendala terbesar mungkin ada di sisi konsep pendistribusian lahan. Adakah petani berlahan sempit, yang menjadi sasaran reforma agraria, bersedia menggarap sendiri lahan yang masih berupa kawasan hutan yang berada di pulau lain?

Berbeda dengan program transmigrasi yang lahannya siap tanam dengan jatah hidup yang mencukupi, program reforma agraria mungkin tidak sampai seperti itu.

Memang ada konsep bahwa reforma agraria tidak lengkap tanpa pemberian akses ke modal, teknologi, input produksi, pemasaran, dsb. Namun jika itu disediakan juga maka program reforma agraria akan berbiaya cukup besar.

Hal lain yang terlihat cukup sulit adalah bagaimana lahan-lahan HGU yang sangat luas dapat didistribusikan kepada petani gurem yang menjadi sasaran reforma agraria?

Jika HGU diperpanjang, maka ketimpangan penguasaan lahan struktural yang dikritik mahasiswa akan terus terjadi. Jika dicabut, maka kawasan perkebunan itu akan menjadi semak belukar yang muspro (idle).

Hal-hal inilah yang mungkin menyebabkan program reforma agraria sejati (redistribusi lahan) dalam skala besar menjadi tersendat.

Alangkah baiknya jika para mahasiswa dapat ikut menyumbangkan solusi untuk mengatasi tantangan-tantangan itu.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com