Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebut RI Kecipratan Order Piala Dunia 2022, GBSI Tolak PHK dengan Dalih Resesi Global

Kompas.com - 22/11/2022, 10:34 WIB
Ade Miranti Karunia,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GBSI) menolak pemutusan hubungan kerja (PHK) pekerja oleh perusahaan dengan alasan resesi global. BGSI juga menolak skema "no work no pay" (tidak bekerja tidak dibayar) yang disuarakan pengusaha. 

"Kami mengajak dan menyerukan seluruh buruh Indonesia menolak PHK dan pengurangan upah atas nama resesi global," ucap Sekretaris Jenderal GBSI, Emelia Yanti melalui keterangan tertulis, Selasa (22/11/2022).

"(Kami) Mendesak Kementerian Ketenagakerjaan menaikkan upah minimum sesuai kebutuhan hidup layak buruh dan keluarganya," lanjutnya. 

Yanti menjelaskan, istilah pengurangan jam kerja merupakan cara lain untuk mengurangi upah buruh. Dengan menggunakan istilah pengurangan jam kerja, para pengusaha dengan leluasa menerapkan sistem no work no pay.

Menurut dia, sistem no work no pay adalah sistem pengupahan zaman Belanda yang bersifat tidak adil dan menjadikan buruh seperti hamba sahaya.

"Kami menilai, resesi global, kekurangan order dan situasi geopolitik bukan alasan untuk memperpanjang penderitaan buruh garmen, sepatu, dan tekstil serta bukan alasan untuk memecat buruh dan mengurangi upah," katanya.

Baca juga: Kemenaker Pertimbangkan Usul No Work No Pay dari Pengusaha untuk Cegah PHK

Permintaan produksi jelang Piala Dunia 2022 meningkat

GBSI juga menuntut agar pemasok barang seperti Adidas dan Nike serta pengusaha tekstil membayarkan upah pekerjanya yang dipangkas selama masa pandemi Covid-19.

Penyebabnya, permintaan akan produksi sepatu, pakaian dan bola jelang Piala Dunia 2022 di Qatar meningkat. Perusahaan tekstil di Indonesia pun kecipratan orderan.

"Dengan alasan pandemi Covid-19, pemasok sepatu Adidas dan Nike menerapkan kebijakan pemotongan upah sebesar 15 persen hingga 20 persen di pertengahan 2021. Pemasok merek internasional tersebut berdalih kesulitan bahan baku dan ekspor barang," ujar Yanti. 

Kini, para pemasok berdalih terdampak resesi global. Buruh diancam akan diputus hubungan kerja atau diputus kontrak jika tidak bersedia mengurangi upah melalui skema pengurangan jam kerja.

Baca juga: Tolak Sistem No Work No Pay, Buruh: Itu Langgar Undang-undang Ketenagakerjaan

 

Skema "No Work No Pay"

Sebelumnya, sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pertektsilan Indonesia (API), Asosiasi Pengusaha Sepatu Korea (KOFA) dan Asosiasi Garmen Korea (KOGA) mendesak Kementerian Ketenagakerjaan mengurangi upah buruh melalui skema pengurangan jam kerja dari 40 jam menjadi 30 jam.

Dikutip dari Kompas.com sebelumnya, menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan, pihaknya masih mempertimbangkan permintaan dari para pengusaha soal "no work no pay" tersebut.

"Kalau permintaan mereka tentunya kan kita sedang godok, kita sedang juga pertimbangkan semuanya," ujarnya ditemui di Jakarta, Kamis (10/11/2022).

Karena, lanjut Sekjen, bila berbicara masalah terkait kebijakan ketenagakerjaan harus mengutamakan tripartit antara pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah. "

Karenanya kenapa dalam hal ini kita menekankan adanya sebuah dialog sosial yang sangat bagus, baik bentuknya bipartit maupun tripartit, apapun lah, mudah-mudahan kita bisa tentunya mengantisipasi apapun dengan kebijakan yang sebaik-baiknya," ucapnya.

Baca juga: Pengusaha Usul Resep Cegah PHK No Work No Pay, Kini Dipertimbangkan Pemerintah, tapi Ditolak Buruh...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com