Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ferdy Hasiman
Peneliti

Peneliti di Alpha Research Database. Menulis Buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara, Gramedia 2019. dan Monster Tambang, JPIC-OFM 2013.

Nikel, WTO, dan "Groundbreaking" Smelter

Kompas.com - 10/12/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM dua pekan ini, ada dua isu besar yang saling bertolak-belakang di industri nikel Tanah Air. Pertama, pemberitaan ramai soal keputusan World Trade Organization (WTO) yang mengabulkan gugatan negara-negara Eropa terkait kebijakan pelarangan nikel Indonesia yang berlaku sejak tahun 2020.

Padahal, kebijakan larangan ekspor mineral adalah perintah Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020, tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Dengan perintah UU Minerba, semua perusahaan tambang tak diperkenankan mengekspor mineral mentah karena merugikan negara.

Sebaliknya, perusahaan tambang wajib membangun pabrik smelter dalam negeri agar memberikan efek pelipatan bagi pembangunan nasional. Namun, dengan kemenangan gugatan negara-negara Eropa di WTO itu, kebijakan hilirisasi mineral berpotensi batal, jika pemerintah tak kuat menahan tekanan WTO.

Baca juga: Jokowi: Enggak Perlu Sakit Hati Kalah Digugat di WTO

Keputusan WTO justru menjadi kabar buruk bagi industri nikel di Tanah Air, karena membuka ruang bagi penambang untuk mengekspor biji nikel lagi.

Kedua, Produsen nikel terbesar di tanah air, PT Vale Indonesia Tbk (Vale) telah melakukan groundbreaking smelter High-Pressure Acid Leach (HPAL) senilai Rp 67,5 triliun di Pomala, Sulawesi Tenggara pada 27, November 2022. Proyek ini termasuk terbesar di dunia, karena kapasitas produksinya per tahun mencapai 120.000 matrik ton.

Proyek itu juga sangat strategis bagi Indonesia, karena proyek HPAL menghasilkan litium untuk membangun ekosistem kendaraan listrik. Proyek Vale ini bisa saling mengisi kekurangan dari proyek yang akan dibangun Indonesia Bateray Corporation (IBC) yang berencana membangun baterai untuk kendraan listrik.

IBC adalah perusahaan patungan antara perusahaan BUMN, Pertamina (Persero), PLN (Persero), MIND ID, dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Perusahaan-perusahaan tambang BUMN memang memiliki nikel kelas satu (nickle sulfate), kobalt, dan tembaga sebagai material dasar pembangunan baterai mobil listrik.

Namun, perusahaan tambang BUMN tak memiliki litium. Maka, pembangunan pabrik HPAL Vale di Pomala bisa saling mengisi dengan proyek IBC, sehingga pembangunan ekosistem kendaraan listrik berjalan lancar.

Gugatan pelarangan ekspor nikel oleh negara-negara Eropa memang masuk akal, karena Indonesia memiliki posisi tawar paling besar di pasar nikel dunia. Berdasarkan data Booklet Nickle (2021), Indonesia memiliki 72 juta ton cadangan nikel dari 139 juta ton nikel dunia atau berkontribusi 52 persen terhadap nikel dunia, jauh di atas Australia (15 persen), Brasil (8 persen) dan Rusia (5 persen).

Itu artinya, Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku nikel dunia dan memiliki posisi tawar dalam pengembangan kendaraan listrik (nikel kelas 1/nikel sulfat) global dan pembangunan pabrik stainless steel (nikel kelas 2). Jadi dunia membutuhkan nikel.

Begitupun negara-negara Eropa yang mulai gencar mendorong pembangunan kendaraan listrik untuk meninggalkan energi fosil (bahan bakar minyak/BBM). Ketika, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan pelarangan ekspor nikel, negara-negara Eropa dan negara-negara maju lainnya kebakaran jenggot karena boleh jadi kebijakan besar pengembangan kendaraan listrik mereka tak berjalan.

Selain itu, negara-negara Eropa tak ingin Indonesia memainkan posisi tawar di pasar nikel dunia. Langkah satu-satunya adalah mengguggat ke WTO, karena Indonesia termasuk negara anggota yang harus ikut aturan main perdagangan global.

Baca juga: Balas Kekalahan di WTO, Jokowi Berencana Naikkan Pajak Ekspor Nikel

Lantas apakah Indonesia harus patuh pada keputusan WTO dan membuka kembali keran ekspor nikel dan membuat tata niaga nikel kita menjadi kacau kembali?

Aktivitas pekerja di smelter PT Vale di Sorowako, Sulawesi Selatan. Gambar diambil pada 30 Maret 2019.AFP/BANNU MAZANDRA Aktivitas pekerja di smelter PT Vale di Sorowako, Sulawesi Selatan. Gambar diambil pada 30 Maret 2019.
Lawan WTO dengan Bangun Smelter

Indonesia tak boleh begitu saja tunduk pada aturan main perdagangan global yang diterapkan WTO. Justru negara-negara Eropa dan negara-negara maju selama ini kerap tak ikut aturan main perdagangan bebas yang diterapkan WTO.

Ekonom Joseph Stiglitz dalam bukunya Globalization and Its Discontets (2001) mengatakan, justru negara-negara maju kerap melanggar aturan lembaga-lembaga global. Di mana-mana, negara-negara maju justru memproteksi produk-produk mereka yang membuat harga menjadi timpang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com