Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Refleksi Pembangunan Ekonomi Nasional

Kompas.com - 20/12/2022, 13:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ladejinsky tidak hanya bekerja untuk Jepang pascaperang dunia kedua, tapi juga menjadi penasehat reforma agraria untuk Taiwan, Korea Selatan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Indonesia.

Hasil maksimal nyatanya hanya terjadi di tiga negara Asia Timur tersebut. Sementara di Asia Tenggara, terutama Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina, nyaris gagal total.

Dan naasnya, menurut catatan Ladejinski, merujuk pada nihilnya kebijakan reforma agraria dan perkembangan ekonomi Indonesia di era Soekarno, hanya Tuhanlah yang bisa menolong Indonesia, sebagaimana diceritakan secara apik oleh Joe Studwell dalam bukunya "How Asia Works" sekitar delapan tahun lalu.

Menurut Ladejinsky, dan pakar transformasi ekonomi lain tentunya, reformasi agraria diperlukan untuk revolusi pertanian, terutama yang berorientasi ekspor, yang akan menghapus dualisme ekonomi desa dan perkotaan (meningkatkan pendapatan pedesaan), lalu menjadi landasan bermulanya industrialisasi di perkotaan karena masyarakat pedesaan akan menambah ukuran pasar produk-produk manufaktur dari perkotaan.

Setelah proses ini, barulah kemudian berlanjut kepada apa yang diteorikan oleh penerima nobel tahun 1979, Arthur Lewis, tentang limpahan tenaga kerja murah dari desa untuk mendukung proses industrialisasi di perkotaan, karena mulai terjadi gap pendapatan antara desa dan kota, yang menarik banyak tenaga kerja baru dari pedesaan bermigrasi ke kota.

Indonesia di era Orde Baru pun setengah hati dengan konsep ini, layaknya Malaysia dan Filipina.

Soeharto hanya berhasil memberikan lahan kepada sekitar 1,5 juta transmigran (masih lebih besar dibanding satu juta sertifikat Jokowi), dengan biaya yang sangat besar, kemudian terhenti begitu saja.

Setelah reformasi bergulir, justru peristiwa seperti di Sampit semakin membuat Indonesia trauma dengan ide reforma agraria versi Soeharto tersebut.

Walhasil, industrilisasi separuh matang versi Orde Baru yang terjadi di saat revolusi pertanian yang juga separuh matang, melahirkan pengangguran dan sektor informal yang sangat besar di daerah perkotaan sampai hari ini.

Yang diteorikan oleh Arthur Lewis tak terjadi di Indonesia, tapi berlangsung mulus di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan hari ini di China.

Perkotaan menyerap kelimpahan tenaga kerja sampai titik jenuh, sampai terjadi kelangkaan SDM di pedesaan dan tuntutan kenaikan pendapatan di perkotaan, yang memaksa perusahaan-perusahaan mulai membuka peluang teknologisasi tingkat tinggi untuk mempertahankan, bahkan meningkatkan produktifitas.

Indonesia nyaris 380 derajat berpaling dari Orde Baru, banting setir menuju liberalisasi tingkat tinggi versi IMF, yang bertahan sampai hari ini.

Dari pendekatan developmental separuh matang beralih pada pendekatan neoklasikal tak bertuan, yang mencari aman di atas angka-angka indikator ekonomi makro, sembari membiarkan proses deindustrialisasi menggerogoti fondasi ekonomi nasional.

Langkah ini jauh berbeda dengan peralihan di Korea Selatan pasca-Park Chung Hee dan Taiwan pasca-Chiang yang tetap konsisten menjalankan gaya ekonomi developmental sembari mengawal transisi menuju demokrasi, dan melakukan penyesuaian secara bertahap di saat berhadapan dengan krisis Asia di tahun 1997.

Dan di saat pendekatan yang sama berhasil di China, dengan modifikasi terencana tentunya, industri Indonesia kemudian dibuat tak berkutik sama sekali, babak belur dihantam dari berbagai sisi.

Cita-cita infrastruktur Jokowi dihiasi dengan "nyaris kolapsnya" raksasa industri baja nasional karena kalah saing di satu sisi dan overproduction produk semen nasional di sisi lain. Plus, mengguritanya utang BUMN-BUMN infrastruktur tentunya.

Sangat aneh terasa bahwa di era infrastruktur justru industri strategis nasional sekelas Krakatau Steel berteriak kelimpungan dan produsen-produsen semen nasional mengalami pengecilan pasar secara signifikan karena minim keberpihakan yang berakibat gagal beradaptasi dan gagal memperbaiki daya saing.

Dan di sisi lain, memang begitulah efek geopolitik dan geoekonomi yang harus dipanen akibat liberalisasi ekonomi tidak bertuan seperti Indonesia, tanpa didukung oleh visi strategis penguatan kapasitas produksi nasional berbarengan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang terlantar begitu saja.

Dalam kontek ini, kita akhirnya sangat bisa memahami mengapa Kwik Kian Gie sering berteriak miris melihat efek liberalisasi ekonomi nasional yang justru mengelabui kita dengan raihan angka-angka indiktor ekonomi makro di tengah rapuhnya fundamental industri dan agrikultur nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com