Di masa restorasi Meiji, pemerintahan Jepang memilih mengirim birokrat-birokratnya ke Jerman untuk mempelajari keberhasilan industrialisasi Rezim Otto Von Bismarch, sebelum Inggris dan Perancis cemburu, lalu mendorong dunia tergelincir ke dalam perang dunia pertama.
Dan pascaperang dunia kedua, di bawah supervisi dan technical assistance dari Amerika, Jepang justru tidak berpaling begitu saja kepada model ekonomi Paman Sam, tapi meneruskan tradisi indistrialisasi sebelumnya, dengan diawali reformasi agraria terukur di bawah supervisi Wolf Ladejinsky, ekonom pertanian yang kabur dari Rusia pascarevolusi komunis 1917, lalu bekerja untuk departemen pertanian Amerika setelah mendapat gelar master dari Columbia University.
Pada mulanya, Ladejinsky disiapkan oleh Amerika untuk membantu Chiang Kai Shek di China, terutama untuk menyiapkan konsep reforma agraria yang akan menyaingi ide kolektivisasi lahan versi Mao.
Namun setelah Chiang gagal dan minggir ke Taiwan yang sejak 1885 telah dikuasai Jepang, Ladejinsky diperbantukan untuk Supreme Commander Asia Pasifik yang incharge di Jepang, Jenderal Douglas McArthur, di mana Walt Rustow sang penulis The Stages of Economic Growth juga ikut ambil andil.
Di sanalah Ladejinski menunjukan kebolehan ide reforma agrarianya. Sekitar satu juta lahan nonproduktif dan 4 jutaan lahan milik tuan tanah (landlord) berhasil dialihmilikan kepada masyarakat Jepang dengan konsesi surat utang negara berbunga 3 persen kepada para tuan tanah, yang menjadi landasan dasar revolusi pertanian dan bermulanya industrialiasi di perkotaan.
Ladejinsky tidak hanya bekerja untuk Jepang pascaperang dunia kedua, tapi juga menjadi penasehat reforma agraria untuk Taiwan, Korea Selatan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
Hasil maksimal nyatanya hanya terjadi di tiga negara Asia Timur tersebut. Sementara di Asia Tenggara, terutama Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina, nyaris gagal total.
Dan naasnya, menurut catatan Ladejinski, merujuk pada nihilnya kebijakan reforma agraria dan perkembangan ekonomi Indonesia di era Soekarno, hanya Tuhanlah yang bisa menolong Indonesia, sebagaimana diceritakan secara apik oleh Joe Studwell dalam bukunya "How Asia Works" sekitar delapan tahun lalu.
Menurut Ladejinsky, dan pakar transformasi ekonomi lain tentunya, reformasi agraria diperlukan untuk revolusi pertanian, terutama yang berorientasi ekspor, yang akan menghapus dualisme ekonomi desa dan perkotaan (meningkatkan pendapatan pedesaan), lalu menjadi landasan bermulanya industrialisasi di perkotaan karena masyarakat pedesaan akan menambah ukuran pasar produk-produk manufaktur dari perkotaan.
Setelah proses ini, barulah kemudian berlanjut kepada apa yang diteorikan oleh penerima nobel tahun 1979, Arthur Lewis, tentang limpahan tenaga kerja murah dari desa untuk mendukung proses industrialisasi di perkotaan, karena mulai terjadi gap pendapatan antara desa dan kota, yang menarik banyak tenaga kerja baru dari pedesaan bermigrasi ke kota.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.