Kedua; sektor transportasi menyedot kebutuhan energi nasional paling besar, terutama terhadap BBM (bahan bakar minyak). Kontribusi BBM terhadap total energi nasional hanya 15 persen.
Batubara memasok kebutuhan energi nasional, porsinya mencapai 67 persen. Namun dari sisi konsumsi, sektor transportasi menyerap konsumsi energi nasional hingga 41 persen. Keadaan inilah yang membuat kita “berdarah-darah” atas kebutuhan kompensasi dan insentif BBM.
Apalagi sektor hulu migas tidak tumbuh dengan baik, kita masih menggantungkan harapan dari sumur-sumur tua, dan kilang-kilang minyak berteknologi rendah. Akibatnya kebijakan minyak bumi nasional bertahun-tahun dipermainkan oleh para trader.
Cerita ini makin menggenapi kisah nestapa dari cermin retak kebijakan energi nasional pada masa lalu yang imbasnya kita terima hingga kini. Keadaan tidak menguntungkan ini terus kita terima jika tidak segera berbenah, kita sangat rentan menerima resiko atas perang minyak yang terus eskalatif sampai pada tahun depan.
Pemerintah pada tahun 2019 telah menggulirkan Perpres No 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik. Kebijakan ini patut kita apresiasi sebagai usaha melakukan langkah besar untuk mengubah pola konsumsi energi kita, khususnya sektor transportasi, untuk menjawab problem kencanduan kita terhadap minyak bumi.
Namun realisasi kebijakan ini tidak mudah. Tantangan yang harus terselesaikan adalah membangun ekosistem kendaraan listrik secara pararel. Sebab bila mengandalkan skema insentif pembelian kendaraan listrik saja hanya menjawab sebagian pokok persoalan.
Pengadaan mobil listrik memang lebih mahal diharga beli, sebab harga on the road (otr) mobil listrik lebih tinggi dibanding mobil yang menggunakan BBM. Satu mobil listrik seharga Rp 697 juta jauh lebih tinggi dibandingkan ke kelas yang sama untuk mobil BBM yang seharga Rp 393 juta.
Akan tetapi bila dikonversikan dengan biaya perhitungan energi per bulan mobil listrik lebih ekonomis ketimbang mobil BBM. Biaya energi mobil listrik per bulan mencapai Rp 296 ribu. Dengan kelas dan pemakaian yang sama untuk mobil BBM bisa mencapai Rp 1,3 juta, terdapat selisih sejuta tiap bulan.
Baca juga: Ekspor Minyak Rusia Naik, tapi Pendapatan Moskwa Justru Turun
Jika dihitung keseluruhan dari harga beli dan ongkos operasional dalam tempo lima tahun pemakaian, investasi mobil listrik memang lebih mahal. Akan tetapi ada komponen subsidi dan kompensasi BBM yang belum terhitung dan menjadi beban APBN.
Terobosan yang bisa kita tempuh tidak harus membeli mobil listrik baru, terutama dari konsumen yang belum mampu. Kebijakan insentif kendaraan listrik kalaupun dijalankan harus ditempatkan pada porsi yang pas.
Saya kira percepatan penggunaan mobil listrik dapat dikonversikan atas mobil BBM yang ada, pilihan ini mungkin paling rasional. Caranya sumber energi penggerak BBM digantikan dengan baterai listrik melalui teknologi plug and play. Harusnya pabrikan atau perusahaan manufaktur bisa mengusahakan hal tersebut, dan kebijakan insentif kendaraan listrik bisa diarahkan untuk hal ini.
Saya kira DPR akan memberikan dukungan anggaran melalui relokasi sebagian anggaran subsidi dan kompensasi BBM untuk mendorong percepatan kendaraan listrik. Namun pemerintah harus bisa meyakinkan publik, terutama DPR, seberapa besar relokasi anggaran ini bisa menurunkan penggunaan kendaraan BBM, baik mobil maupun motor yang tersubtitusi oleh kendaraan listrik.
Agenda ini harus mencerminkan target dari konversi mobil BBM ke listrik dengan jelas
Percepatan kendaraan listrik sangat baik, namun pada saat yang sama pemerintah harus memiliki perhitungan fiskal yang utuh. Sebab kita membutuhkan kelonggaran fiskal menghadapi gejolak ekonomi global, perang harga minyak bumi, serta kebutuhan mendasar untuk menjaga daya beli rumah tangga miskin melalui program perlindungan sosial. Penting dipertimbangkan oleh pemerintah bahwa porsi kebijakan insentif kendaraan listrik tidak mengoreksi agenda agenda penting kita di atas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.