Demikian halnya dengan alokasi anggaran subsidi energi, semula APBN 2022 mengalokasi sebesar Rp 207 triliun. Namun per Mei 2022 naik menjadi Rp 283,7 triliun. Beruntung realisasi subsidi energi lebih rendah dari plafon, per 14 Desember 2022 sebesar Rp 206,9 triliun atau 72,9 persen.
Baca juga: Putin Larang Jual Minyak Rusia ke Negara yang Terapkan Batasan Harga, Balas Barat
Terlihat sensitivitas APBN sangat besar terhadap perubahan harga minyak bumi. Oleh sebab itu, berulang kali saya tegaskan, kita perlu mengubah pola konsumsi energi yang bertumpu pada minyak bumi. Kita memerlukan percepatan perubahan kebijakan struktural untuk mengurangi kencanduan minyak bumi.
Kita harus memetik pelajaran dari masa lalu. Produksi minyak bumi tetap kita upayakan meningkat. Potensi cekungan migas kita yang cukup besar tetap kita jajaki pada menu investasi strategis, sebab hal ini tetap menjanjikan pundi-pundi besar. Namun dari sisi konsumsi energi domestik harus berubah.
Kenapa harus berubah? Indonesia harus menunjukkan keseriusannya terhadap upaya penurunan emisi. Hasil studi yang dilakukan Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah ITB menyebutkan 46 persen polusi udara di Jakarta disumbang dari sektor transportasi.
Emisi karbon untuk jarak tempuh 10 km menggunakan BBM adalah 2,4 kg CO2 dan 2,6 kg CO2 menggunakan diesel, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan mobil listrik yang hanya 0,85 kg CO2.
Kedua; sektor transportasi menyedot kebutuhan energi nasional paling besar, terutama terhadap BBM (bahan bakar minyak). Kontribusi BBM terhadap total energi nasional hanya 15 persen.
Batubara memasok kebutuhan energi nasional, porsinya mencapai 67 persen. Namun dari sisi konsumsi, sektor transportasi menyerap konsumsi energi nasional hingga 41 persen. Keadaan inilah yang membuat kita “berdarah-darah” atas kebutuhan kompensasi dan insentif BBM.
Apalagi sektor hulu migas tidak tumbuh dengan baik, kita masih menggantungkan harapan dari sumur-sumur tua, dan kilang-kilang minyak berteknologi rendah. Akibatnya kebijakan minyak bumi nasional bertahun-tahun dipermainkan oleh para trader.
Cerita ini makin menggenapi kisah nestapa dari cermin retak kebijakan energi nasional pada masa lalu yang imbasnya kita terima hingga kini. Keadaan tidak menguntungkan ini terus kita terima jika tidak segera berbenah, kita sangat rentan menerima resiko atas perang minyak yang terus eskalatif sampai pada tahun depan.
Pemerintah pada tahun 2019 telah menggulirkan Perpres No 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik. Kebijakan ini patut kita apresiasi sebagai usaha melakukan langkah besar untuk mengubah pola konsumsi energi kita, khususnya sektor transportasi, untuk menjawab problem kencanduan kita terhadap minyak bumi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.