Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pencabutan Skema "Power Wheeling" di RUU EBT Sudah Tepat, Ini Alasannya

Kompas.com - 23/01/2023, 16:56 WIB
Kiki Safitri,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah mencabut skema power wheeling dari Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) melalui daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diserahkan kepada DPR.

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai pencabutan skema power wheeling dari RUU EBT merupakan keputusan yang tepat.

“Berhubung power wheeling berpotensi merugikan negara dan memberatkan rakyat serta melanggar UUD 1945, UU ketenagalistrikan dan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), penarikan pasal power wheeling dari RUU EBT merupakan langkah yang sangat tepat,” ujarnya dalam pernyataan resminya kepada Kompas.com, Senin (23/1/2023).

Baca juga: Kementerian ESDM: PLTS Atap Solusi Pemanfaatan Energi Terbarukan di Perkotaan

Fahmy mengatakan power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual listrik kepada pelanggan rumah tangga dan industri.

Penjualan listrik IPP tersebut mempergunakan jaringan distribusi dan transmisi milik PLN melalui open source dengan membayar fee yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM. Namun penerapan power wheeling berpotensi menambah beban APBN yang merugikan negara.

"Pasalnya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen, dan pelanggan non-organik hingga 50 persen. Penurunan jumlah pelanggan PLN itu, selain dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN, juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik,” kata Fahmy

Baca juga: Dorong Energi Terbarukan, Geo Dipa Kembangkan 2 PLTP di Dieng dan Patuha

Menurut Fahmy, power wheeling juga dapat membuat beban APBN bengkak untuk membayar kompensasi kepada PLN sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian.

Selain itu, power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen karena penetapan tarif listrik diserahkan kepada mekanisme pasar.

“Dengan power wheeling, penetapan tarif listrik ditentukan oleh demand and supply, pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan,” kata dia.

Baca juga: RUU EBT Atur Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir

Fahmy menyebut skema power wheeling merupakan liberalisasi kelistrikan dan melanggar Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Dia juga menilai power wheeling sesungguhnya merupakan pola unbundling yang diatur dalam UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Pola unbundling itu sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Melalui keputusan Nomor 111/PUU-XIII/2015, MK memutuskan bahwa unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan UUD 1945.

Baca juga: Potensi dan Tantangan Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com