Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Flexing, Ketimpangan Ekonomi, dan Pentingnya Pajak Kekayaan

Kompas.com - 28/02/2023, 14:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Flexing atau pamer harta di tengah ketimpangan seperti menyiram bensin ke dalam kobaran api. Itu hanya memancing amarah mereka yang hidup di bagian terbawah piramida ekonomi.

Presiden Joko Widodo sebetulnya sangat menyadari ini.

“Saya ingatkan masalah gaya hidup, lifestyle, jangan sampai dalam situasi yang sulit ada letupan-letupan sosial karena ada kecemburuan sosial ekonomi, kecemburuan sosial ekonomi, hati-hati," kata Jokowi saat memberikan arahan kepada pejabat Polri di Istana Negara, Jakarta, Jumat (14/10/2022).

Pentingnya pajak kekayaan

Demi memangkas jarak ketimpangan, sekaligus menaikkan penerimaan negara dari pajak, pajak kekayaan bisa menjadi salah satu solusinya.

Pajak kekayaan bisa menjadi instrumen untuk mendorong redistribusi kekayaan dan mengurangi ketimpangan. Selain itu, pajak kekayaan bisa bisa menutupi lubang fiskal negara yang tergerus oleh krisis akibat covid-19 dan lesunya ekonomi global.

Ini bukanlah ide yang radikal. Dua lembaga yang dianggap kampiun kapitalisme global, Bank Dunia dan IMF, ikut mendengungkan perlunya pajak kekayaan saat ini.

Tak sedikit ekonom juga yang menyokong ide progresif ini. Bahkan, di dunia ada ratusan miliarder yang menyebut diri “Millionaires for Humanity” mendukung perlunya pajak kekayaan sekarang ini.

Di Indonesia, pajak kekayaan bisa diterapkan lewat dua pilihan. Pertama, pajak sebesar 1-2 persen untuk orang kaya dengan kekayaan bersih di atas 5 juta dollar AS (sekitar 76 miliar, kurs Rp 15.000/dollar AS) atau The very-high-net-worth individual (VHNWI).

Kedua, pajak sebesar 2-3 persen untuk orang super kaya (UNWH) yang kekayaannya di atas 30 juta dollar AS (Rp 458 miliar, kurs 15.000/dollar AS).

Tentu saja, pajak kekayaan bukan tanpa tantangan. Pajak kekayaan mensyaratkan sistem perpajakan yang bersih dan transparan.

Selain itu, jika tak hati-hati, pajak kekayaan juga bisa memicu penghindaran pajak dan pelarian modal (capital flight).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com