Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Henry MP Siahaan
Advokat, Peneliti, dan Dosen

Advokat, peneliti, dan dosen

Defisit Bawang Putih yang Tak Pernah Digubris

Kompas.com - 06/03/2023, 10:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Padahal konsumsi bawang putih diperkirakan terus meningkat dari 480.000 hingga 560.000 ton. Alhasil ada defisit sekitar 480.000-550.000 ton hingga 2021.

Angka tersebut tentu saja menjadi sebuah gambaran numerik yang gurih bagi para pelaku impor, sekalipun secara sosial ekonomi cenderung jarang muncul dalam radar perhatian publik karena bawang putih kurang bernilai strategis apabila dibandingkan dengan beras, gula, daging sapi, alih-alih dengan minyak.

Bagaimana tidak, secara rata-rata setiap orang Indonesia hanya butuh bawah putih tak lebih dari satu kilogram dalam setahun.

Mari kita lihat, jika jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 261,89 juta pada tahun 2018, misalnya, dan konsumsi bawang putih sebanyak 482.190 ton, maka konsumsi per kapita bawang putih mencapai hanya 0,18 kg/tahun.

Namun sialnya, karena keremehan tersebut, kita akhirnya hanya punya luas lahan yang menghasilkan panen bawang putih sekira 2.420 ha dengan produktivitas 8,45 ton/ha.

Boleh jadi sebagian lahan tersebut hanya lahan basa-basi dari para importir untuk memenuhi kualifikasi layak impor, yakni harus menanam bawang putih sekira lima persen dari volume yang diimpor.

Jadi secara kasat mata, bisnis bawang putih terlihat remeh. Padahal bumbu dapur yang banyak terserak di los-los becek pasar tradisional tersebut merupakan bisnis yang sangat gurih jika dilihat secara detail.

Mari kita lihat, kebutuhan nasional bawang putih mencapai lebih dari 30.000 ton per bulan. Dari jumlah itu, hanya lima persen yang bisa dipenuhi petani lokal. Sisanya, 95 persen bawang putih harus diimpor setiap tahun.

Lalu dikonfrontasikan dengan Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) yang menunjukkan bahwa selama tahun 2019 saja, harga bawang putih yang dipantau pada lebih dari 90 kota di Indonesia bergerak antara Rp 17.000 hingga Rp 46.000 per kilogram (kg).

Jadi dengan harga rata-rata Rp 30.000 per kg saja, nilai bisnis bawang putih impor mencapai Rp 10,2 triliun lebih tahun 2019, apalagi tahun ini.

Kalau harganya dipermainkan alias diayun-diayun bak roller coaster, sesuai kekuatan stok bawang putih yang dimiliki oleh importir, maka seni berbisnis bawang putih menjadi semakin menarik.

Jadi kondisi fundamental bawang putih yang memang sudah seperti itu atau boleh jadi memang sengaja dibiarkan seperti itu, secara teoritik, mau tak mau memenuhi prasyarat untuk lahirnya kebijakan kuota impor.

Pembatasan impor (Import Quota) merupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang boleh diimpor dengan alasan untuk melindungi produksi dalam negeri (yang kecil sepicing mata itu).

Pemaknaannya nampaknya sangat statis, yang berakibat bahwa angka produksi bawang putih nasional sangat terlindungi, selalu berkisar di angka yang sangat kecil secara konsisten dan terus-menerus.

Pemerintah via Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan ibarat memuseumkan angka produksi bawang putih nasional, melindungi dan memproteksi agar tetap di kisaran yang terus kecil, lalu di waktu yang bersamaan memelihara para importir di luar museum dengan sistem kuota impor.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com