Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Danur Lambang Pristiandaru
Wartawan

Content Writer Lestari Kompas.com
Alumnus Prodi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan

Subsidi Kendaraan Listrik dan Energi Baru Terbarukan

Kompas.com - 17/03/2023, 11:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BBM menjadi sumber energi yang paling besar pada 2021, yaitu sekitar 52,1 persen. Sedangkan konsumsi listrik hanya 18,2 persen.

Bila elektrifikasi transportasi sukses, porsi konsumsi energi BBM bisa berpindah ke listrik.

Belum lagi harga minyak dunia yang naik turun dan sempat mencapai rekor tertinggi saat Rusia menginvasi Ukraina. Kondisi tersebut tentu akan memengaruhi APBN.

Ramah lingkungan?

Kendaraan listrik mengonsumsi energi dari pembangkit. Bila pembangkit listriknya masih didominasi energi fosil, bisa diartikan emisinya hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Dengan kata lain, kendaraan listrik masih menghasilkan emisi melalui carbon foootprint alias jejak karbon yang dihasilkan dari energi hulunya.

Di Indonesia, mayoritas pembangkit listriknya masih didominasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 dari PLN, PLTU batu bara merupakan kontributor terbesar dari bauran pembangkit listrik nasional, yakni 66,3 persen hingga Desember 2020.

Sementara itu pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) sebesar 16,8 persen, pembangkit listrik tenaga BBM 2, 54 persen, dan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) 13,43 persen.

Besarnya porsi PLTU batu bara dalam bauran energi nasional liniear dengan emisi GRK berdasarkan Outlook Energi Indonesia 2022.

Pada 2021, emisi GRK di Indonesia mencapai 607 juta ton karbon dioksida ekuivalen. Rinciannya adalah sektor pembangkit listrik berkontribusi sekitar 49,8 persen, sektor transportasi 23,7 persen, dan industri sebesar 16,1 persen.

Jika elektrifikasi bisa berjalan mulus dan tumbuh secara signifikan, emisi dari sektor transportasi bisa dikurangi secara drastis. Dan peningkatan kendaraan listrik sudah pasti mendorong konsumsi listrik.

Yang menjadi catatan adalah jangan sampai pengurangan emisi dari sektor transportasi ini hanya berpindah ke sektor pembangkit listrik. Oleh karenanya, elektrifikasi transportasi juga perlu dibarengi dengan meningkatnya EBT.

Target EBT

Melalui Perpres Nomor 22 Tahun 2017 mengenai Rencana Umum energi Nasional (RUEN), pemerintah sebenarnya menargetkan kontribusi EBT dalam bauran energi primer dapat mencapai 23 persen alias sebesar 45,1 gigawatt (GW) pada 2025 dan meningkat lagi menjadi 31 persen atau 167,6 GW pada 2050.

Dari RUEN ini, dijabarkan lagi target pembangunan insfrastruktur ketenagalistrikan, yakni 135,5 GW pada 2025 yang terdiri atas 90,4 GW dari enegri fosil dan 45,1 GW dari EBT.

Sedangkan pada 2050 targetnya 275,4 GW energi fosil dan 167,6 GW EBT.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com