Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemendag Masih Utang Ratusan Miliar Rupiah, Peritel Minta Produsen Migor Bersuara

Kompas.com - 28/04/2023, 18:40 WIB
Elsa Catriana,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta para produsen minyak goreng yang tergabung dalam Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) dan Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) ikut bersuara dan mendorong Kementerian Perdagangan agar mau membayar utang minyak goreng yang bernilai ratusan miliar rupiah.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey menjelaskan, yang langsung terlibat dalam proses utang piutang itu ke pemerintah adalah para produsen minyak goreng yang kemudian nantinya produsen minyak goreng langsung membayarkan ke ritel.

Untuk diketahui, utang tersebut merupakan penggantian selisih harga jual dengan harga keekonomian minyak goreng (rafaksi) yang pada saat itu harga minyak goreng mahal dan langka.

Baca juga: Pekan Depan Kemendag Ajak Aprindo Bahas Utang Minyak Goreng Rp 344 Miliar

Adapun pengadaan itu dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Pasal 7 aturan itu menyatakan, pelaku usaha (produsen minyak goreng) akan mendapatkan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Dana itu dihitung dari selisih harga eceran tertinggi (HET) dan harga keekonomian yang ditawarkan pasar.

Dalam Permendag tersebut, HET ditetapkan Rp 14.000 per liter.

Namun, regulasi itu belakangan dicabut dan diganti dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.

"Kami mau membangunkan produsen minyak goreng, allert-lah ke produsen. Kita yang sudah berbusa-busa kalian kok enggak ada sepatah katapun mengenai rafaksi. Padahal rafaksi itu setelah tanggal 19 januari 2022 karena Permendag 3 keluar, mereka jual ke pasar tradisonal dengan harga murah," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (28/4/2023).

"Ini yang terima bayaran bukan ke ritel langsung tapi dari BPDPKS kepada produsen, baru produsen ke ritel. Tapi kenapa produsen 2 asosiasi besar Aimmi dan Gimni kok diam saja. Kenapa mereka kok tidur padahal anggotanya sudah gerak terus," sambung Roy.

Lebih lanjut Roy mengatakan, total utang pemerintah tersebut sebenarnya kurang lebih mencapai Rp 800 miliar. Sebab, pada saat kebijakan satu harga minyak goreng yang dibuat pemerintah, produsen ikut menjual langsung ke pasar dengan harga yang murah.

"Totalnya dengan kita hampir Rp 344 miliar tapi sebenanrya yang mereka jual subsidi ke pasar tradisional itu total hampir Rp 800 miliar. Itu ada juga mereka kasih harga ke pasar padahal waktu itu ketika Permendag 3 jalan mereka kasih harga murah padahal waktu itu mereka jualnya enggak segitu. Lebih mahal. Mereka sudah buat data totalnya kisaran Rp 800 miliar," ungkap Roy.

Menurut dia, salah satu alasan para produsen minyak goreng tidak ikut bertindak mendorong pemerintah untuk membayar utang tersebut adalah adanya kekhawatiran mereka ketika pemerintah membuat kebijakan yang menurunakan perbandingan antara jumlah CPO yang diekspor dengan kewajiban DMO-nya sehingga mengganggu profit bisnis.

"Khawatir mereka ketika dikecilkan saja perbandingan eskpor dengan kewajiban DMO nya itu sudah turun, April ini sudah 1:4, 1 liter minyak kita 4 liter ekspor. Sebelumnya kan 1:6,1:8, jadi sudah diturun-turunkan. Yang dikhawatirkan mereka itu terganggu bisnisnya. Menurut saya loh yah," ucap Roy.

Sementara itu Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengungkapkan, pihaknya akan melakukan pertemuan dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) untuk membahas utang Kemendag yang belum dibayarkan senilai Rp 344 miliar.

Hal ini menyusul adanya rencana Aprindo yang membuka opsi menghentikan penjualan minyak goreng (migor) di beberapa wilayah Indonesia lantaran pembayaran penggantian selisih harga jual dengan harga keekonomian minyak goreng (rafaksi) belum kunjung dibayarkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

"Kami akan mengundang secara formal Aprindo berdiskusi untuk membicarakaan (utang) dan mengimbau agar tidak memboikot penjualan migor. Mudah-mudahan awal minggu depan ini. Tertutup," ujar Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Isy Karim saat ditemui Kompas.com di Kementerian Perdagangan, Kamis (27/4/2023).

Isy menjelaskan alasan utang tersebut belum dibayarkan adalah lantaran masih sedang diproses dan masih dalam tahap meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung (Kejagung).

Ketika Kejagung sudah berhasil melakukan verifikasi dan pengecekan secara detail soal ajuan dari Kemendag, barulah Kemendag melalui BPDPKS akan membayar utang tersebut.

Baca juga: Naik Rp 17 Triliun, Posisi Utang Pemerintah Jadi Rp 7.879,07 Triliun pada Maret 2023

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com