JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjelaskan, beleid baru terkait Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) penting ditetapkan untuk mengantisipasi krisis perbankan nasional yang terjadi pada 1998.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa menceritakan, kala itu negara menggunakan sebesar 50 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk menanggung kerugian krisis perbankan.
Dari landasan tersebut, pengumpulan premi program restrukturisasi perbankan ini diberlakukan pemerintah untuk menganggulangi terjadinya krisis serupa.
“Jadi kalau PRP jalan nanti, bukan satu bank yang jatuh pasti banyak. tapi ada case khusus sekali ketika kita salah me-manage ekonomi. Mudah-mudahan enggak,” kata dia dalam konferensi pers Pertemuan Tahunan LPS dan Stakeholders, Selasa (20/6/2023).
Baca juga: Strategi LPS Racik Program Penjaminan Polis hingga 2028
Ia menambahkan, ketika terjadi krisis perbankan 1998, pemerintah dan rakyat menanggung beban perbankan.
Sekarang, beleid ini membuat industri perbankan punya kewajiban untuk membantu pemerintah ketika terjadi krisis, sekaligus memberi keyakinan kepada rakyat.
“Kalau ada apa-apa industri siap menyelamatkan industri. Negara siap menyelamatkan industri. Jadi gak akan panik seperti 1997-1998,” imbuh dia.
Lebih lanjut, Purbaya menjelaskan, adanya peraturan baru ini mungkin dapat berdampak pada kenaikan bunga.
Baca juga: Kemenkeu Buka-bukaan soal Utang Tutut Soeharto ke Negara
Meskipun begitu, Purbaya bilang, nasabah tidak perlu khawatir karena margin perbankan masih tergolong besar. Dengan begitu, seharusnya bunga yang diberikan akan lebih kompetitif.
“Yang jelas (premi program restrukturisasi perbankan) tidak akan membuat banknya menjadi susah karena sudah kita hitung,” tutur dia.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.