“Atau bisa juga karena, mereka adalah generasi sandwich, atau meskipun berprofesi guru, mereka tetap manusia yang tergoda dengan gaya hidup, dan kemudahan paylater,” lanjut dia.
“Tapi tidak semua seperti itu, ada yang tergoda (paylater) ada juga yang tidak,” lanjut dia.
“Ketika mereka saat itu ngajar online (saat pandemi), kan mereka juga harus beli laptop atau gadget. Ini tentu ada banyak tawaran pembayaran, tunai atau paylater,” jelas dia.
Baca juga: Berlaku Tahun Depan, Ini Rincian Bunga dan Denda Keterlambatan Pinjol
Prita menjelaskan, penyelesaian utang piutang atau kasus paylater itu berbeda-beda setiap orangnya. Untuk memutus hal tersebut, pertama yang harus dilakukan adalah memiliki tekad yang kuat, dan juga sistematis secara finansial.
“Pertama, kita harus periksa dompet, di mana kita akan tahu masalah hidup kita ada di mana, dan menentukan jumlah anggaran belanja kita,” jelas Prita.
Setelah menemukan jumlah anggarannya, harus melakukan action. Ini kadang kerap tidak terlaksana, action ini bisa mengurangi pengeluaran, atau menambah pemasukan,” tegas dia.
Sebelumnya, Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari mengatakan, sebanyak 43 persen korban pinjol ilegal berasal dari profesi guru.
Baca juga: BTN: 30 Persen Pengajuan KPR Ditolak karena Nasabah Terjerat Pinjol
"Hasil penelitian ini sangat menarik, yaitu guru yang kita harapkan memiliki tingkat literasi yang tinggi, ternyata paling banyak terkena jebakan pinjaman (online) ilegal," ujar Friderica beberapa waktu lalu.
OJK menyebut ada beberapa alasan yang mendasari hasil riset yang menyebut bahwa guru banyak yang terlilit pinjol, adalah karena masih banyak guru atau tenaga pendidik yang memiliki latar belakang ekonomi menengah ke bawah.
Friderica mengatakan, tidak jarang, para guru seringkali tebuai dengan janji pinjaman yang mudah dan cepat. Lebih lanjut, wanita yang karib disapa Kiki ini menjelaskan banyak guru yang tidak memiliki akses pembiayaan.