Kemudian akses permodalan yang masih terbatas dan tingginya biaya modal, dan masalah terakhir adalah masih tingginya barang-barang impor yang menjadi substitusi produk UMKM dan usaha rintisan.
Program-program bantuan pemerintah untuk UMKM dan usaha rintisan selama ini lebih sering fokus pada aspek permodalan seperti program Kredit Usaha Rakyat (KUR), pembiayaan Ultra Mikro (UMi), dan program Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekar).
Padahal masalah paling krusial bukan terletak pada aspek permodalan. Masalah terbesar yang dihadapi oleh UMKM dan usaha rintisan adalah terbatasnya akses pasar terutama untuk pasar ekspor.
Oleh karena itu, pemerintah harus memiliki program yang bisa membuka akses pasar potensial serta mendorong para pelaku UMKM dan usaha rintisan untuk “Go Global”, memasuki pasar-pasar potensial di luar Indonesia.
Masalah akses pasar ini sering kali berkaitan dengan tingkat daya saing produk-produk UMKM dan usaha-usaha rintisan yang relatif masih rendah.
Kompetisi di pasar global mengharuskan setiap pelaku industri termasuk UMKM dan usaha rintisan memiliki tingkat daya saing yang tinggi.
Jika indeks daya saing produk-produk UMKM dan usaha rintisan masih rendah, maka kecil kemungkinan para pelaku UMKM dan usaha rintisan tersebut mampu bersaing dengan para pelaku industri dari luar negeri.
Oleh karena itu, pemerintah wajib menghilangkan high cost economy di dalam sistem perekonomian Indonesia yang selama ini menjadi salah satu penyebab utama dari rendahya indeks daya saing produk-produk UMKM dan usaha rintisan tersebut.
Salah satu penyebab utama dari high cost economy di dalam sistem perekonomian Indonesia adalah masih tingginya biaya logistik.
Biaya logistik di dalam sektor industri Indonesia bisa mencapai lebih dari 25 persen dari total biaya produksi. Jumlah yang sangat besar dan mengakibatkan sistem produksi industri kita sangat tidak efisien.
Pemerintah harus berusaha keras untuk menurunkan biaya logistik dengan menciptakan sistem transportasi yang terintegrasi dan berbiaya murah, serta menurunkan ongkos bongkar muat yang selama ini dikenal mahal.
Selain biaya logistik, biaya modal untuk UMKM dan usaha rintisan juga mahal. Kewajiban jaminan pembiayaan (collateral) serta tingkat suku bunga efektif yang tinggi menjadikan biaya modal untuk UMKM dan usaha rintisan cenderung jauh lebih mahal dibanding biaya modal untuk usaha menengah besar.
Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah harus bekerja sama secara sinergis dengan BI dan OJK sebagai pemegang otoritas moneter dan industri keuangan.
Bank Indonesia harus menetapkan Loan to Value (LTV) yang besar untuk sektor UMKM dan usaha rintisan sehingga besaran Down Payment (DP) untuk UMKM dan usaha rintisan bisa jauh lebih rendah.
Penetapan suku bunga acuan untuk sektor-sektor yang melibatkan UMKM dan usaha rintisan ditekan serendah mungkin sehingga suku bunga efektif lembaga pembiayaan untuk UMKM dan usaha rintisan bisa lebih rendah lagi.
Otoritas Jasa Keuangan juga harus mendorong lembaga-lembaga pembiayaan untuk beroperasi lebih efisien lagi sehingga bisa menetapkan biaya lebih rendah yang pada akhirnya bisa menurunkan suku bunga efektif bagi para pelaku UMKM dan usaha rintisan.
Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan UMKM dan usaha rintisan tersebut tidak semudah membalik telapak tangan.
Namun dengan usaha serius, kolektif dan terintegratif, serta pantang menyerah dari pemerintah, sektor UMKM dan usaha rintisan dapat maju dan bisa naik kelas menjadi usaha menengah dan usaha besar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.