Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Erick Thohir: Merger Pelita Air dan Citilink untuk Tekan Harga Tiket

Kompas.com - 14/12/2023, 15:04 WIB
Yohana Artha Uly,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bakal melakukan merger atau penggabungan maskapai penerbangan Pelita Air dan Citilink. Penggabungan ini diyakini mampu menekan harga tiket pesawat.

Menteri BUMN Erick Thohir menyebut, minimnya jumlah armada pesawat menjadi salah satu penyebab mahalnya harga tiket pesawat. Saat ini kondisi armada pesawat di Indonesia pun telah berkurang banyak.

Sebelum pandemi Covid-19, jumlah armada di Indonesia mencapai 750 unit pesawat, namun kini menjadi hanya sebanyak 450 unit pesawat.

Baca juga: Wamen BUMN: Merger Citilink-Pelita Air Tunggu Garuda Indonesia Sehat

Ilustrasi pesawat milik maskapai Pelita Air.SHUTTERSTOCK/DITO ARDIYANTO Ilustrasi pesawat milik maskapai Pelita Air.
"Kompleksitasnya itu, termasuk pesawat terbang. Pesawat terbang kita sebelum Covid itu 750 pesawat, hari ini 450, makanya tiketnya mahal," ujarnya ditemui di Waskita Rajawali Tower, Jakarta, Rabu (13/12/2023).

Oleh sebab itu, dengan dilakukannya merger Pelita Air dan Citilink diharapkan memperkuat proses bisnis kedua maskapai BUMN tersebut. Sehingga bisa dilakukan penambahan jumlah maskapai milik BUMN.

Menurut Erick, minimnya jumlah armada maskapai BUMN saat ini bukan karena rendahnya kapabilitas perusahaan, melainkan karena memang belum pulihnya kondisi perusahaan dari pandemi Covid-19.

"Karena itu kita mendorong yang namanya merger atau penggabungan Pelita dengan Citilink. Supaya kita punya kekuatan untuk menyeimbangkan harga tiket. Ini yang kita dorong. Jadi bukan karena kita tidak capable, tapi memang pasca Covid itu belum balik," kata Erick.

Baca juga: Bocoran Bos Citilink, Rencana Merger dengan Pelita Air Kemungkinan Berubah

Sebelumnya, Erick pernah mengungkapkan bahwa Indonesia masih kekurangan sekitar 200 pesawat. Perhitungan itu diperoleh dari perbandingan antara Amerika Serikat dan Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com