Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Debat Mahfud Vs Gibran soal Pajak, Pahami Bedanya "Rate" Pajak, dengan Rasio Pajak

Kompas.com - 26/12/2023, 09:30 WIB
Kiki Safitri,
Aprillia Ika

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada Jumat pekan lalu, Cawapres nomor urut 3 Mahfud MD menanggapi Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka mengenai target rasio pajak.

Mahfud bilang, sejauh ini insentif pajak hanyalah alat negosiasi yang dilakukan di kantor pajak.

“Insentif pajak sudah ditawarkan tidak ada yang mau jadi alat nego di kantor pajak,” kata Mahfud pekan lalu.

Gibran mengatakan, menaikkan rasio pajak dan menaikkan pajak itu adalah dua hal yang berbeda. Solusinya, Gibran akan membentuk badan penerimaan negara.

“Ini nanti akan dikomando langsung oleh presiden sehingga mempermudah kordinasi dengan kementerian terkait, sehingga DJP dan Bea Cukai akan dilebur jadi satu. Sehingga fokus dalam penerimaan negara saja tidak urusi masalah pengeluaran,” kata Gibran.

Baca juga: TKN: Prabowo-Gibran Tidak Berencana Menaikkan Rate Pajak

Apa itu rate pajak dan rasio pajak? 

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, rate pajak dan rasio pajak adalah dua hal yang berbeda.

Dia memaparkan rate pajak adalah tarif pajak yang diberlakukan saat ini, misal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang saat ini 11 persen. Sementara itu rasio pajak merupakan perbandingan antara penerimaan pajak dengan PDB.

Saat ini pemerintahan Presiden Joko Widodo menargetkan tax ratio berada di level 10 persen pada 2023.

Rate pajak itu maksudnya tarif pajak. Sementara rasio pajak perbandingan antara penerimaan pajak dengan PDB,” kata Bhima kepada Kompas.com, Minggu (25/12/2023).

Baca juga: Mahfud MD Sebut Target Rasio Pajak 23 Persen Tidak Masuk Akal, Berapa Realisasinya Saat Ini?

Sementara itu, Tim Pemenangan Pasangan Calon (Paslon) Nomor Urut 2, Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo menilai, apa yang dikatakan oleh Gibran dapat diartikan sebagai upaya kedua paslon untuk menaikkan penerimaan negara melalui transformasi di dalam sistem Badan Penerimaan Negara (BPN), salah satunya pendapatan melalui pajak.

“Jadi, maksudnya itu menaikkan penerimaan negara melalui transformasi di dalam sistem BPN , kemudian mengumpulkan sumber penerimaan negara yang sebenarnya harus terkumpul karena kasusnya sudah inkra atau karena hal lain. jadi uangnya sudah bisa dikumpulkan tapi tidak terkumpulkan,” kata Drajad kepada Kompas.com, Minggu.

Baca juga: Mahfud MD Sebut Target Rasio Pajak Gibran Tidak Masuk Akal

 


Dia menekankan, meningkatkan rasio pajak dilakukan dengan cara hasil pajak yang alokasikan untuk pendidikan dapat meningkat, dan lebih banyak lagi yang bisa dialokasikan ke pendidikan.

“Jadi bukan menaikkan rate pajak untuk pendidikan. Enggak!,” tegas dia.

Rasio pajak dan rate pajak beda ya, ratio pajak itu perbandingan antara jumlah pajak yang dikumpulkan dengan PDB,” jelas Drajad.

Baca juga: Soal Rasio Pajak, Gibran Pakai Analogi Berburu di Kebun Binatang

Drajad mengungkapkan, di Indonesia rasio pajak khusus untuk DJP (Direktorat Jenderal Pajak), ada juga ratio pajak umum yang memasukkan semua sumber perpajakan lain.

“Kalau rate pajak itu rate nominal pajak sama rate efektif pajak. Ada pajak penghasilan kalau (penghasilan sekian) kena pajak 15 persen (misalnya), PPN 11 persen itu namanya rate pajak,” tegas Drajat.

“Kita enggak ada rencana menaikkan rate pajak, tapi kita akan mengumpulkan yang tidak terkumpulkan,” tegas dia.

Baca juga: Genjot Penerimaan Negara, Gibran Mau Bentuk Badan Penerimaan Pajak

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Siap-siap, Antam Bakal Tebar Dividen 100 Persen dari Laba Bersih 2023

Siap-siap, Antam Bakal Tebar Dividen 100 Persen dari Laba Bersih 2023

Whats New
Berkomitmen Sediakan Layanan Digital One-Stop Solution, Indonet Resmikan EDGE2

Berkomitmen Sediakan Layanan Digital One-Stop Solution, Indonet Resmikan EDGE2

Whats New
Libur Panjang, KCIC Siapkan 28.000 Tempat Duduk Kereta Cepat Whoosh

Libur Panjang, KCIC Siapkan 28.000 Tempat Duduk Kereta Cepat Whoosh

Whats New
Emiten Penyedia Infrastuktur Digital EDGE Raup Laba Bersih Rp 253,6 Miliar pada 2023

Emiten Penyedia Infrastuktur Digital EDGE Raup Laba Bersih Rp 253,6 Miliar pada 2023

Whats New
InJourney: Bergabungnya Garuda Indonesia Bakal Ciptakan Ekosistem Terintegrasi

InJourney: Bergabungnya Garuda Indonesia Bakal Ciptakan Ekosistem Terintegrasi

Whats New
KAI Bakal Terima 1 Rangkaian Kereta LRT Jabodebek yang Diperbaiki INKA

KAI Bakal Terima 1 Rangkaian Kereta LRT Jabodebek yang Diperbaiki INKA

Whats New
BTN Relokasi Kantor Cabang di Cirebon, Bidik Potensi Industri Properti

BTN Relokasi Kantor Cabang di Cirebon, Bidik Potensi Industri Properti

Whats New
Pengelola Gedung Perkantoran Wisma 46 Ajak 'Tenant' Donasi ke Panti Asuhan

Pengelola Gedung Perkantoran Wisma 46 Ajak "Tenant" Donasi ke Panti Asuhan

Whats New
Shell Dikabarkan Bakal Lepas Bisnis SPBU di Malaysia ke Saudi Aramco

Shell Dikabarkan Bakal Lepas Bisnis SPBU di Malaysia ke Saudi Aramco

Whats New
Utang Rafaksi Tak Kunjung Dibayar, Pengusaha Ritel Minta Kepastian

Utang Rafaksi Tak Kunjung Dibayar, Pengusaha Ritel Minta Kepastian

Whats New
BEI Enggan Buru-buru Suspensi Saham BATA, Ini Sebabnya

BEI Enggan Buru-buru Suspensi Saham BATA, Ini Sebabnya

Whats New
PT Pamapersada Nusantara Buka Lowongan Kerja hingga 10 Mei 2024, Cek Syaratnya

PT Pamapersada Nusantara Buka Lowongan Kerja hingga 10 Mei 2024, Cek Syaratnya

Work Smart
Koperasi dan SDGs, Navigasi untuk Pemerintahan Mendatang

Koperasi dan SDGs, Navigasi untuk Pemerintahan Mendatang

Whats New
Cadangan Devisa RI  Turun Jadi 136,2 Miliar Dollar AS, Ini Penyebabnya

Cadangan Devisa RI Turun Jadi 136,2 Miliar Dollar AS, Ini Penyebabnya

Whats New
Bea Cukai Klarifikasi Kasus TKW Beli Cokelat Rp 1 Juta Kena Pajak Rp 9 Juta

Bea Cukai Klarifikasi Kasus TKW Beli Cokelat Rp 1 Juta Kena Pajak Rp 9 Juta

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com