Yang sangat disayangkan, pada masa jaya tersebut Indonesia tidak maksimal membangun ketiga segmen hilirisasi di atas. Akibatnya antara lain, industri pengilangan kita tertinggal jauh dari Singapura yang tidak punya migas. Ironis, kan?
Konsekuensi yang lebih serius, banyak kesempatan ekonomi menjadi hilang. Misalkan, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT). Pelaku TPT saat ini kedodoran menghadapi gempuran TPT impor yang jauh lebih murah, termasuk yang ilegal.
Andai saja sekarang kita punya industri polyethylene terephthalate (PET) yang berdaya saing tinggi, industri serat sintetis dan TPT Indonesia akan lebih mampu bersaing. Bukan hanya mereka, industri plastik dan kemasan juga bakal lebih kompetitif.
Efek selanjutnya, berapa juta UMKM garmen, pedagang ritel, makanan, minuman dan sebagainya yang akan lebih murah biaya usahanya?
Poin saya, memang sebagian besar hilirisasi itu padat modal. Tapi keberhasilannya akan menolong banyak UMKM.
Bukti yang paling nyata adalah hilirisasi gandum berupa industri mi instan. Meski bahan bakunya impor, industri mi instan terbukti menciptakan peluang usaha bagi banyak UMKM.
Itulah kesempatan ekonomi yang hilang ketika kita gagal berhilirisasi.
Istilah ekonomi digital (digital economy) pertama kali dimunculkan pada akhir dekade 1990-an, antara lain oleh Dan Tapscott (1996) dalam artikelnya The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence.
Setelah itu, berbagai definisi diusulkan oleh berbagai pihak, menimbulkan ketidakbakuan pengukuran ekonomi digital.
Melalui publikasi pada 2008, International Standard Industrial Classification of All Economic Activities, Rev. 4, PBB membakukan industri apa saja yang termasuk dalam ekonomi digital, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2021 kemudian merinci produk apa saja yang dikategorikan sebagai produk ekonomi digital (Tabel 2).
Berdasarkan AIO, ADB mengukur kontribusi ekonomi digital terhadap pendapatan domestik bruto (PDB).
Mereka juga mengukur kontribusi dari industri yang memungkinkan adanya ekonomi digital (digitally enabling industries atau DEI), seperti industri semikonduktor. Kontribusi dari industri yang dimungkinkan oleh ekonomi digital (digitally enabled industries atau DEdI) diukur pula.
Dalam bahasa AIO, DEI ini disebut sebagai keterkaitan ke belakang (backward linkage), sementara DEdI keterkaitan ke depan (forward linkage). Adapun dalam bahasa industrialisasi, DEI adalah sektor hulu dan DEdI merupakan sektor hilir dari ekonomi digital.
Dengan penjelasan tentang hilirisasi dan ekonomi digital di atas, kita dapat mendefinisikan hilirisasi digital sebagai “sebuah perubahan struktural berupa pembangunan sektor hilir di mana produk ekonomi digital menjadi bahan baku/antara sehingga didapat nilai tambah yang jauh lebih tinggi”.
Melalui hilirisasi digital, kita membangun keterkaitan ke depan dari ekonomi digital, yaitu DEdI.
Sebagian pihak menganggap hilirisasi digital adalah digitalisasi. Pandangan ini keliru.
Karena, digitalisasi adalah transformasi dari analog/non-digital menjadi digital, yang dapat dilakukan baik pada sektor hulu dan hilir maupun pada ekonomi digital itu sendiri.
Sebagai contoh, pemanfaatan teknologi digital dalam produksi semikonduktor (sektor hulu). Itu adalah digitalisasi, tapi bukan hilirisasi digital.