Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaleidoskop 2023: Naik-Turun Industri Penerbangan Indonesia

Kompas.com - 31/12/2023, 07:32 WIB
Isna Rifka Sri Rahayu,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Industri penerbangan Indonesia mulai pulih setelah terdampak pandemi Covid-19. Namun demikian, proses pemulihan tersebut masih terganjal beberapa masalah.

Adapun pemulihan industri penerbangan Indonesia dapat dilihat dari jumlah trafik penerbangan dan jumlah pergerakan penumpang pesawat sepanjang 2023.

Berdasarkan data AirNav Indonesia, pada 2023 jumlah trafik alias lalu lintas penerbangan di wilayah Indonesia selama 2023 sebanyak lebih dari 1,8 juta penerbangan.

Baca juga: AirNav Indonesia Layani 33.191 Penerbangan Selama Libur Natal 2023

Ilustrasi pesawat di bandara kelolaan PT Angkasa Pura I (AP I).Dok. AP I Ilustrasi pesawat di bandara kelolaan PT Angkasa Pura I (AP I).

Jumlah tersebut meningkat 17 persen dibandingkan sepanjang tahun 2022 lalu yang hanya 1,5 juta penerbangan.

"Jumlah traffic sudah mendekati kondisi normal sebelum terjadinya pandemi Covid-19 di awal tahun 2020," ujar Kadiv Data dan Evaluasi Pelayanan Navigasi Penerbangan AirNav Indonesia Ulul Azmi saat media gathering di Upper Clift Sentul, Jawa Barat, Kamis (28/12/2023).

Meskipun begitu, AirNav Indonesia mencatat tingkat pemulihan penerbangan domestik baru 70 sampai 90 persen dari kondisi sebelum pandemi pada 2019.

Sementara tingkat pemulihan penerbangan internasional dan overflying (penerbangan lintas udara) baru sekitar 70 sampai 100 persen dari kondisi sebelum pandemi Covid-19.

Baca juga: Lalu Lintas Penerbangan Sudah Dekati Kondisi Sebelum Pandemi Covid-19

Sementara dari sisi jumlah penumpang selama tahun 2023, Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) memperkirakan jumlah pergerakan penumpang pesawat domestik selama 2023 sekitar 70,8 juta pergerakan penumpang.

Jumlah tersebut terdiri dari 66,8 juta pergerakan penumpang reguler ditambah 4 juta perkiraan jumlah pergerakan penumpang selama periode Natal 2023 dan Tahun baru 2024 (Nataru).

Ilustrasi penerbangan, tiket pesawat.SHUTTERSTOCK/ANDREW ANGELOV Ilustrasi penerbangan, tiket pesawat.

Jumlah penumpang pesawat ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2022 yang sebanyak 56,4 juta pergerakan penumpang. Namun tingkat pemulihannya baru 89 persen dari sebelum pandemi Covid-19 yang mencapai 79,5 juta pergerakan penumpang.

Penyebab industri penerbangan Indonesia belum pulih sepenuhnya

Sekretaris Jenderal INACA Bayu Sutanto menyebut, belum pulihnya industri penerbangan di Indonesia ini dikarenakan masih menghadapi beberapa kendala.

Baca juga: Meningkat 17,9 Persen, Realisasi Extra Flight Nataru 2023 Capai 473 Penerbangan

"Pada tahun 2023, bisnis penerbangan nasional masih mengalami kendala dan belum bisa mencapai target yang ditetapkan," ujarnya beberapa waktu lalu.

Dia merincikan dua kendala yang menjadi rintangan industri penerbangan Indonesia untuk pulih sepenuhnya, yaitu jumlah pesawat yang dioperasikan terbatas dan kondisi finansial maskapai.

Sedikitnya jumlah pesawat beroperasi menyebabkan pada berkurangnya jumlah kapasitas kursi yang disediakan oleh maskapai untuk penerbangan domestik.

Pada 2019, jumlah pesawat yang beroperasi di Indonesia sekitar 650 unit dan pasca pandemi Covid-19 jumlah pesawat menyusut menjadi sekitar 450 unit.

Baca juga: Rute Penerbangan Paling Sibuk di Dunia, Ada Jakarta Singapura dan Jakarta-Bali

Jumlah kapasitas kursi yang dapat disediakan pada 2019 mencapai 141,3 juta kursi sedangkan pada 2023 sampai dengan Oktober berjumlah 67 juta kursi dengan tingkat keterisian pesawat 76 persen.

"Berkurangnya jumlah pesawat ini dikarenakan beberapa hal yaitu kondisi supply chain bahan baku dan spareparts pesawat yang terganggu dengan bergejolaknya geopolitik di dunia seperti krisis Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel," ungkapnya.

Dia menjelaskan, stok suku cadang (spareparts) pesawat di pasar internasional menipis sehingga untuk mendapatkannya maskapai harus memberi uang panjar atau membayar lunas di depan.

Ilustrasi penerbangan, tiket pesawat.SHUTTERSTOCK/NEW AFRICA Ilustrasi penerbangan, tiket pesawat.

Selain itu juga masih adanya beberapa aturan larangan dan pembatasan (LARTAS) importasi spareparts pesawat dari pemerintah sehingga mengakibatkan proses impor spareparts pesawat memakan waktu lama dengan biaya yang relatif besar, di mana hal tersebut tidak dilakukan di negara-negara lain.

Baca juga: Menyelamatkan Penerbangan Indonesia

Kendala kedua berupa kendala finansial maskapai penerbangan yang terganggu akibat pandemi Covid-19. Pada saat pandemi, jumlah penumpang pesawat menurun hingga 60 persen sehingga pendapatan maskapai juga menurun.

Namun di sisi lain, biaya-biaya yang tetap harus dikeluarkan maskapai masih sangat besar yaitu untuk bayar sewa pesawat, biaya perawatan dan perbaikan pesawat, hingga biaya pengelolaan SDM.

Selain itu, kondisi keuangan maskapai penerbangan juga terganggu karena tarif batas atas (TBA) yang ditetapkan pemerintah sejak 2019 sampai saat ini belum dilakukan revisi.

Padahal komponen-komponen untuk penyusunan tarif tersebut saat ini sudah berubah seperti harga avtur yang sudah naik serta semakin lebarnya perbedaan kurs rupiah dan dollar AS, di mana untuk membayar sewa pesawat.

Baca juga: AirNav Prediksi Ada 4.467 Penerbangan Domestik dan 609 Penerbangan Internasional Selama Nataru 2023

Informasi saja, maskapai harus membeli suku cadang dan kegiatan lainnya menggunakan dollar AS sedangkan pendapatan maskapai penerbangan dalam mata uang rupiah.

"Kendala-kendala tersebut selain mengakibatkan jumlah pesawat dan jumlah kursi yang disediakan maskapai berkurang, juga mengakibatkan konektivitas penerbangan ke beberapa daerah terganggu karena maskapai memilih terbang ke rute-rute yang menguntungkan saja," ucapnya.

INACA minta Kemenhub hapus TBA agar dapat naikkan harga tiket pesawat

Guna menyelesaikan kendala di industri penerbangan Indonesia itu, INACA mengusulkan agar pemerintah meniadakan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat sehingga besaran harga tiket akan diserahkan kepada mekanisme pasar.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja usai Rapat Umum Anggota INACA di Hotel Park Hyatt, Jakarta, Kamis (2/11/2023) silam. 

Baca juga: KNKT: Kecelakaan Moda Penerbangan pada 2023 Meningkat

Ketua Umum INACA, Denon Prawiraatmadja.KOMPAS.com/Isna Rifka Sri Rahayu Ketua Umum INACA, Denon Prawiraatmadja.
"Ini mungkin menjadi salah satu usulan dari kita tadi bahwa kalau bisa tarif batas atas ini ditiadakan sehingga menyerahkan kepada mekanisme pasar," ujarnya.

Denon menyebut, dengan dihapusnya TBA tiket pesawat ini, maka maskapai akan lebih fleksibel menyesuaikan harga tiket pesawat.

Mengingat biaya operasional penerbangan saat ini tengah melambung tinggi akibat kenaikan harga avtur dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Terlebih, saat ini industri penerbangan Indonesia masih belum pulih sepenuhnya pasca pandemi Covid-19.

Baca juga: Kemenag Usulkan Kenaikan Biaya Penerbangan Ibadah Haji 2024 Sebesar 10 Persen

Oleh karenanya, menurut dia, untuk menyelamatkan industri penerbangan dalam negeri diperlukan fleksibilitas bagi maskapai untuk menyesuaikan tarif, khususnya TBA tiket pesawat.

"Kita upaya dulu aja kepada pemerintah. Karena sulit buat kita untuk menurunkan nilai tukar mata uang dollar AS, sulit bagi kita untuk melakukan penurunan harga avtur," tukasnya.

Usulan penghapusan TBA ini disambut baik oleh sejumlah maskapai, di antaranya PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan PT Citilink Indonesia.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, penghapusan TBA ini akan membuat maskapai lebih leluasa menetapkan harga tiket. Namun bukan berarti maskapai akan menggunakan kesempatan ini untuk meraup untung sebesar-besarnya.

Baca juga: Soroti Tiga Tantangan Industri Penerbangan Nasional, Ketum INACA: Perlu Jadi Perhatian Serius

Justru dia bilang, masyarakat menjadi memiliki lebih banyak pilihan dalam menggunakan moda transportasi publik lantaran harga tiket pesawat akan lebih bervariasi.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/6/2023).KOMPAS.com/Haryanti Puspa Sari Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/6/2023).

"Saya tidak ingin bahwa kemudian dikesankan kita mencari untung, tapi biarkan pasar yang memilih. Yang penting buat kita adalah publik. Masyarakat dapat pilihan kan, pilihan itu antara maskapai mau naik Garuda, naik Citilink, atau yang lain monggo," ujarnya di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Kamis (2/10/2023).

Masyarakat juga bebas memilih moda transportasi lain jika merasa harga tiket pesawat mahal dan tidak sesuai dengan kemampuannya.

Menurut dia, kenaikan harga tiket pesawat tidak akan berdampak besar terhadap masyarakat Indonesia. Pasalnya, pengguna angkutan udara di Indonesia hanya sekitar 5 juta orang dari 273 juta penduduk Indonesia.

Baca juga: Sederet Masalah yang Dihadapi Industri Penerbangan Global

Di sisi lain, maskapai tentu tidak akan mematok harga tiket pesawat setinggi mungkin karena maskapai tidak ingin penumpangnya memilih maskapai atau moda transportasi lain.

"Bukan tidak apa-apa (masyarakat beralih dari pesawat), kita harus kasih masyrakat pilihan. Maskapai juga harus tahu diri kalau ternyata kemahalan terus enggak ada yang mau naik, mungkin terlalu mahal," ucapnya.

Pada kesempatan yang sama, CEO Citilink Indonesia Dewa Kadek Rai berharap usulan penghapusan TBA tersebut dapat direalisasikan oleh pemerintah sehingga besaran harga tiket pesawat diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.

Namun dia memastikan, penghapusan TBA ini tidak membuat maskapai semena-mena mematok harga tiket pesawat tinggi.

Baca juga: Traveloka: Transaksi Penerbangan ke Destinasi Internasional Termasuk Eropa Naik 4 Kali Lipat

"Kami sih mengharapkan itu (terealisasi). Mekanisme pasar tidak berarti kita akan menaikan harga tiket itu semena-mena, enggak sih," ujar Kadek Rai pada kesempatan yang sama.

Justru dengan dilepasnya harga tiket pesawat ke mekanisme pasar, hal ini bisa membuat harga tiket pesawat lebih kompetitif. Pasalnya, besaran harga tiket yang sesuai mekanisme pasar ini akan mengikuti permintaan dan penawaran penumpang.

"Mekanisme pasar tetap harus ada supply and demand. Kalau supply-nya berlebih tentunya kita pasti akan menyesuaikan harganya karena begitu supply berlebih pasti harga itu akan bersaing kan," tambahnya.

Yang penting, kata dia, pemerintah tetap mengatur tarif batas bawah (TBB) tiket pesawat agar meski harga tiket bersaing, maskapai tetap bisa memenuhi biaya dasar atau basic safety cost.

Baca juga: Kebangkitan Semu Industri Penerbangan Indonesia

"Kalau harga di bawah (TBB) itu yang menjadi bahaya karena tidak mengcover basic safety cost kita," kata dia.

Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi saat meninjau Stasiun Tawang Semarang menyebut adanya peningkatan penumpang sekitar 28 persen, Sabtu (30/12/2023).KOMPAS.COM/Titis Anis Fauziyah Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi saat meninjau Stasiun Tawang Semarang menyebut adanya peningkatan penumpang sekitar 28 persen, Sabtu (30/12/2023).

Menhub tolak usulan INACA, tetapi...

Meski usulan INACA mendapat dukungan penuh dari para maskapai, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi justru menolak usulan tersebut.

Menhub menyebut usulan penghapusan TBA tiket pesawat yang dilontarkan INACA tidak mungkin direalisasikan.

Pasalnya, dasar adanya TBA dan TBB tiket pesawat sudah diamanatkan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

 

Baca juga: Daftar 11 Maskapai Penerbangan RI yang Bangkrut

"Saya yakin bahwa masih ada ruang untuk kita bahas agar ini bisa dilakukan dengan baik. Tapi bahwa akan menghilangkan istilah TBA dan TBB enggak mungkin, karena itu adalah UU," ujarnya saat ditemui di Gedung DPR RI setelah rapat kerja dengan Komisi V DPR, Jakarta, Selasa (7/11/2023).

Meski begitu Menhub menyadari industri penerbangan Indonesia masih dalam proses pemulihan tapi terkendala oleh kelangkaan dan harga sparepart pesawat yang mahal, biaya penyewaan pesawat mahal, dan kenaikan harga avtur.

Terlebih, jumlah pesawat yang beroperasi di Indonesia telah berkurang dari sekitar 650 unit menjadi 400 unit. Jumlah ini terancam semakin berkurang di tahun depan lantaran kelangkaan sparepart pesawat.

Sehingga dia memahami alasan maskapai meminta TBA tiket pesawat dihapus. Oleh karenanya, meski Menhub menolak usulan penghapusan TBA, dia akan mengkaji aturan TBA agar bisa direvisi untuk dinaikkan sesuai dengan kondisi industri penerbangan saat ini.

Baca juga: Mendukung Penerbangan Ramah Lingkungan di Indonesia

"Kita ingin mengupayakan agar keseimbangan itu tetap berjalan," kata Menhub di Sarinah, Jumat (29/12/2023).

Namun Menhub belum dapat memastikan kapan aturan TBA tiket pesawat bakal direvisi lantaran harus melalui beberapa tahapan.

"Kami sedang me-review. Kalau fair-nya seharusnya kita memang mempertimbangkan itu menaikkan TBA. Tapi kami biasanya sangat berhati-hati menghitungkan harga pokok itu berapa, lalu kita konsultasikan dengan YLKI dan beberapa pengamat, lalu minta persetujuan Menko Marves, baru kita umumkan," tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com