Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Industri Rokok Disebut Dibebani Kebijakan Restriktif

Kompas.com - 09/01/2024, 19:46 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Editor

Sumber

JAKARTA, KOMPAS.com - Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof Dr Syamsul Arifin, M.Si berpandangan petani tembakau yang jumlahnya jutaan memiliki kontribusi besar bagi penerimaan negara setiap tahunnya.

Belum lagi kontribusi di sektor lain. Di lain sisi, keberadaan mereka terancam dengan kebijakan pemerintah yang mengganggu kelangsungan hidupnya.

Menurut Syamsul, kegiatan seminar nasional dan bedah buku Seminar Nasional Cakap Cukai dan Bedah Buku yang digelar Fakultas Ekonomi Bisnis UMM bersama KADIN Jawa Timur ini merupakan bagian dari sharing pengetahuan, berbagi informasi terkait dinamika kebijakan cukai di hadapan civitas akademika.

Baca juga: Pengusaha Nilai Pajak Rokok Elektrik jadi Pukulan Telak bagi Industri

Seorang petani sedang merawat tanaman tembakau di sawahKOMPAS.COM/ATMO Seorang petani sedang merawat tanaman tembakau di sawah

Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun berpendapat, Indonesia perlu kepemimpinan yang mendukung kepentingan nasional agar industri hasil tembakau (IHT) tak melulu dipojokkan dengan kebijakan yang restriktif.

Hal itu mengingat terdapat 300an regulasi baik di tingkat Undang Undang sampai dengan Peraturan Daerah yang dibuat oleh pemerintah dinilai mengganggu iklim usaha rokok nasional.

"Diperlukan pemimpin yang mampu melakukan harmonisasi regulasi penting untuk kelangsungan IHT dan memberi arah yang jelas bagi seluruh kepentingan ekosistem pertembakauan," tegas Misbakhun dalam keterangannya, Senin (8/1/2024).

Misbakhun mengingatkan adanya tekanan kepentingan global lewat Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), ditambah lagi dengan polemik RPP Kesehatan tembakau dipastikan petani tembakau dan cengkeh, termasuk pemda penerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) akan terus merana.

Baca juga: Pantas Saja Rokok Ilegal Digemari, Harganya Murah, yang Jualan Pun Cuan

Padahal, IHT sudah terbukti jelas menjadi tulang punggung penerimaan APBN, dengan setoran cukai sekitar Rp 300 triliun setiap tahunnya serta menyerap jutaan tenaga kerja nasional.

 

Ilustrasi rokok, cukai rokok. Daftar harga jual rokok tahun 2024.SHUTTERSTOCK/RISTOFORESCAN Ilustrasi rokok, cukai rokok. Daftar harga jual rokok tahun 2024.

"Sampai sekarang kalau cara pemerintah mengelola IHT nasional masih seperti ini, maka perdebatannya tak akan selesai dalam 3 tahun yang akan datang. Dan saya kaget bahwa isu yang sangat krusial seperti ini tak dimasukkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam debatnya capres-cawapres. Harusnya dimasukkan karena menyangkut jutaan tenaga kerja, menyangkut sekitar Rp 300 triliun penerimaan negara," tegasnya.

Menurut legislator partai Golkar ini, RPP Kesehatan tembakau menjadi alat yang dinilai paling jahat dalam mengganjal IHT nasional, karena hanya melihat satu aspek kesehatan saja.

"Saya berharap pasal yang berkaitan dengan IHT di RPP ini bisa dibatalkan atau dikeluarkan terlebih dahulu dari RPP Kesehatan sebelum ada analisis yang cukup mendalam terkait dampak ekonomi dan juga sektor-sektor terkait, yaitu pertanian, periklanan, ritel, tenaga kerja, dan sektor lain," kata Misbakhun.

Baca juga: Kenaikan Tarif Cukai Dinilai Picu Maraknya Rokok Ilegal

Misbakhun menilai RPP Kesehatan yang masuk terlalu dalam ke industri tembakau menafikan hak-hak lain yang juga dijamin Konstitusi seperti petani tembakau. Akibatnya para petani dan buruh tembakau dirugikan. (Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi)

 

Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul: Industri Rokok Disebut Telah Dibebani Kebijakan Restriktif

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com