Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ahmad Danu Prasetyo
Peneliti

Danu adalah seorang Analis Senior di OJK Institut. Ia menempuh pendidikan di Keio University, Jepang dan meraih gelar PhD di bidang ekonomi. Sebelum berkarir di OJK, ia adalah seorang pengajar di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB. Danu memiliki minat untuk meneliti berbagai aspek terkait ekonomi dan keuangan. Beberapa hasil penelitiannya telah dipublikasikan di berbagai Jurnal Nasional dan Internasional.

Menyoal Pinjaman Dana Pendidikan

Kompas.com - 03/02/2024, 11:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di Amerika Serikat, pinjaman dapat diberikan oleh pemerintah federal, bank, atau lembaga keuangan lainnya. Pembayaran pinjaman beserta bunganya dimulai setelah mahasiswa lulus dari perkuliahan dan mendapatkan pekerjaan.

Dengan skema seperti itu, diharapkan mahasiswa dapat terlepas dari kekhawatiran terkait permasalahan finansial dan berfokus pada pendidikannya.

Namun, ternyata skema tersebut menjadi bom waktu. Demand terhadap pendidikan tinggi semakin membludak seiring dengan pelambatan ekonomi, yang berakibat biaya perkuliahan terkerek naik.

Begitu pun, permintaan akan pinjaman pendidikan juga semakin meningkat, yang menyebabkan naiknya suku bunga pinjaman.

Di sisi lain, pemerintah federal mulai membatasi pemberian pinjaman bersubsidi sejak tahun 2002, sementara peningkatan pendapatan yang diharapkan tidak kunjung terjadi.

Bisa dipastikan, tingkat Non Performing Loan (NPL) kemudian menjadi melonjak. Pada 2020 yang lalu, jumlah tunggakan student loan di Amerika Serikat mencapai lebih dari 1,6 Triliun dollar AS, angka yang sangat fantastis.

Berbeda dengan skema pembiayaan di Amerika Serikat, di Indonesia, pinjaman pendidikan pada dasarnya adalah skema kredit tanpa agunan biasa, di mana kewajiban pembayarannya dimulai segera setelah pinjaman dicairkan.

Selain itu durasi pinjaman cukup pendek, maksimal hingga 24 bulan saja.

Perbedaan lainnya adalah terkait dengan adanya penjamin pinjaman. Di Amerika Serikat, mahasiswa bertanggung jawab sendiri atas pinjaman yang ia ajukan.

Umumnya, ini adalah pinjaman pertama yang ia lakukan dalam jumlah besar, sehingga akan mengurangi kapasitasnya untuk melakukan pinjaman lainnya setelah kelulusan, seperti pengajuan KPR, kredit kendaraan dan lain sebagainya.

Di Indonesia, peran seorang wali dibutuhkan sebagai penjamin pinjaman. Hal ini dikarenakan mahasiswa dianggap belum cukup umur dan belum memiliki penghasilan, sehingga wali yang kemudian bertanggungjawab untuk melunasi kewajiban atas utang tersebut.

Kehadiran kewajiban tambahan ini biasanya muncul belakangan setelah tujuan-tujuan keuangan primer telah dipenuhi.

Bukan solusi paten

Walaupun risiko skema pinjaman pendidikan di Indonesia lebih terukur, akan tetapi menurut hemat saya itu hanya panasea.

Pemberian pinjaman merupakan solusi sementara sekadar memindahkan kewajiban masa kini ke waktu yang akan datang.

Biasanya masyarakat yang tertarik untuk mengajukan pinjaman dari LPBBTI memang berada pada kondisi terdesak dan tidak memiliki aset yang cukup untuk diagunkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com