Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebutuhan Dalam Negeri Jadi Prioritas Komersialisasi Migas

Kompas.com - 29/03/2024, 13:15 WIB
Aprillia Ika

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Kebutuhan dalam negeri jadi prioritas komersialisasi minyak dan gas bumi (migas). Hal itu bisa terlihat dari kebijakan pemerintah yang mewajibkan para produsen minyak untuk menawarkan terlebih dulu hasil produksi minyaknya ke Pertamina.

Untuk itu, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) terus berupaya untuk meningkatkan komersialisasi migas.

Rayendra Sidik, Kepala Divisi Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas, mengungkapkan dalam Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri ditetapkan para produsen wajib menawarkan dulu kepada Pertamina atau badan usaha pemegang izin usaha pengolahan minyak di dalam negeri.

"Jadi wajib minyak-minyak itu ditawarkan ke Pertamina, jika memang tidak bisa karena satu lain hal seperti kesepakatan harga atau teknis yakni kilangnya tidak bisa menerima baru minyak di ekspor," kata Rayendra dalam diskusi media SKK Migas, yang bertema ‘Proses Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi’, di Jakarta, Kamis (28/3/2024).

Ia menyebutkan, ada minyak yang tidak ditawarkan ke Pertamina dan langsung diekspor yakni jenis minyak yang memiliki sulfur sangat tinggi karena dipastikan tidak bisa diolah di fasilitas kilang yang ada di tanah air.

Baca juga: Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi gas bumi

Untuk gas bumi, produksinya juga harus memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu. Berdasarkan data SKK Migas, dari 5.528,61 BBTUD realisasi penyaluran gas bumi sebanyak 23,35 persen diekspor dalam bentuk LNG dan diekspor melalui pipa sebesar 8,7 persen.

Sisanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Rinciannya, persentase gas untuk industri sebesar 26,85 persen, pupuk sebesar 12,48 persen, kelistrikan sebesar 12,6 persen, LNG domestik sebesar 9,91 persen, kebutuhan lifting minyak sebesar 4,26 persen, LPG sebesar 1,46 persen, dan untuk Jaringan gas sebesar 0,28 persen serta BBG sebesar 0,11 persen.

Rayendra mencontohkan untuk produksi LNG misalnya, selain yang sudah berkontrak maka sisa produksi LNG dipastikan akan ditawarkan ke konsumen dalam negeri.

"Seperti tahun ini, diawal kita proyeksikan tidak ada LNG yang Uncommitted Cargo, tapi ditengah jalan karena satu lain hal ada sekitar 3-4 kargo LNG uncommitted. Kita langsung tawarkan dulu ke dalam negeri. Pupuk, industri kelistrikan dan lainnya. Ternyata tidak ada yang serap baru kita langsung jual ke spot," jelasnya.

Rayendra kemudian menyebutkan bahwa proses komersialisasi gas bumi memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan minyak bumi, yaitu penyerapan pasar dan infrastuktur.

"Jadi khusus gas bumi, setelah diproduksi harus segera disalurkan, sehingga sebelum diproduksi, marketnya harus siap, dan untuk menyalurkan dibutuhkan infrastuktur agar bisa tersalurkan langsung ke konsumen," kata dia.

Baca juga: Menteri ESDM Minta Pertamina Optimalkan Produksi Lapangan Migas Tua di Cirebon

Komersialisasi migas harus transparan dan hati-hati

Sementara itu, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Hudi Suryodipuro mengatakan komersialisasi minyak dan gas bumi harus dilakukan secara transparan dan hati-hati.

Pasalnya, sektor hulu migas memiliki peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan negara.

"Perlu disadari bahwa tidak semua golongan memahami bagaimana proses komersialisasi migas, sehingga ada persepsi yang keliru bahwa jika ada temuan, maka otomatis dapat memberikan keuntungan materi yang besar, padahal tidak semudah itu, ada proses dan prosedur yang harus diikuti sebelum penemuan tersebut bisa diproduksi dan dikomersialisasikan," kata dia.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com