Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Cucun Ahmad Syamsurijal
Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI

Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI

Kaji Ulang Kenaikan Pajak 12 Persen

Kompas.com - 01/04/2024, 11:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETENTUAN kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku pada awal 2025 nampaknya perlu dikaji ulang.

Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ini perlu melihat kondisi obyektif dari masyarakat dan perekonomian nasional agar tidak kontraproduktif dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual beli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

PPN merupakan pajak tidak langsung, yang artinya dibayarkan oleh konsumen kepada penjual, namun kemudian disetorkan oleh penjual kepada kas negara.

Ada tiga alasan mengapa kenaikan PPN pada 2025 perlu dikaji ulang. Pertama, PPN yang dikenakan pada transaksi jual beli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) memiliki dampak langsung terhadap daya beli masyarakat.

Dengan adanya kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, harga barang dan jasa akan meningkat, yang berpotensi menurunkan kemampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa.

Hal ini khususnya akan berdampak pada kelompok masyarakat miskin dan rentan, yang memiliki keterbatasan dalam pengeluaran.

PPN merupakan pajak tidak langsung yang mengenakan beban pajak pada konsumen (destinataris).

Dengan kenaikan tarif menjadi 12 persen, tax burden yang ditanggung oleh konsumen akan semakin besar. Hal ini akan menurunkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Kenaikan tarif PPN berpotensi meningkatkan tingkat inflasi. Pemikul beban PPN adalah konsumen akhir, sedangkan perusahaan dapat mengkreditkan PPN sebagai Pajak Masukan.

Hal ini akan meningkatkan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya akan memengaruhi tingkat inflasi.

Selain itu, potensi restitusi PPN juga akan meningkat seiring dengan kenaikan tarif PPN, yang memerlukan biaya administrasi lebih besar bagi pemerintah.

Kedua, dalam kondisi perekonomian global yang masih penuh ketidakpastian, kenaikan tarif PPN dapat memperlambat pemulihan ekonomi nasional.

Konflik geopolitik, krisis energi, dan krisis pangan yang terjadi di berbagai belahan dunia telah menimbulkan tekanan tambahan terhadap perekonomian nasional.

Dengan adanya kenaikan PPN, biaya produksi bagi pengusaha akan meningkat, yang dapat mengurangi daya saing di pasar global dan membuat pengusaha enggan untuk berinvestasi serta menciptakan lapangan kerja baru.

Ketiga, beberapa sektor ekonomi yang diprediksi akan sangat terdampak oleh kenaikan PPN antara lain sektor ritel, pariwisata, dan industri.

Sektor ritel diprediksi akan mengalami penurunan penjualan akibat turunnya daya beli masyarakat.

Sementara itu, sektor pariwisata akan mengalami penurunan kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, karena kenaikan harga tiket pesawat, hotel, dan paket wisata.

Selain itu, sektor industri juga akan menghadapi tantangan dengan meningkatnya biaya produksi, yang berpotensi menurunkan daya saing pengusaha di pasar global.

Sebagai bahan perbandingan, negara-negara di kawasan ASEAN memiliki tarif PPN yang bervariasi. Singapura, misalnya, tetap menerapkan tarif tujuh persen.

Sementara Thailand sebelumnya menerapkan 10 persen dan kemudian menurunkannya menjadi tujuh persen selama pandemi COVID-19 dan tetap dipertahankan hingga 2023.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com