Bahkan institusi pemerintah yang semestinya saling berkoordinasi di dalam mendorong peningkatan kapasitas produksi gula di Dompu nyatanya tidak saling berbagi tugas dalam melanggengkan operasi industri di satu sisi dan menjahit keterikatan sosial ekonomi antara pihak industri dengan pihak masyarakat di sisi lain.
Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah sejatinya harus saling berbagi tugas di dalam kelancaran pengelolaan HGU yang telah diberikan kepada pihak perusahaan sesuai dengan porsinya masing-masing, agar kapasitas produksi gula nasional bisa secara perlahan ditingkatkan.
Namun di lapangan biasanya, apa yang telah dilegalisasi oleh pemerintah pusat justru dihindari oleh pemerintah di daerah, karena minimnya koordinasi dan komunikasi di satu sisi dan tidak terakomodasinya kepentingan daerah di sisi lain.
Dari sisi perusahaan pun tak berbeda. Segala urusan yang dianggap telah dibicarakan dengan lembaga pemerintah yang terkait di pusat justru juga dianggap telah selesai di tingkat lapangan.
Walhasil, ketika terjadi kendala di lapangan, pihak perusahaan mau tak mau harus menyelesaikannya secara sendiri-sendiri.
Kegagalan tata niaga dan tata kelola dari para pihak inilah yang sebenarnya menjadi penyebab utama mengapa industri gula juga gagal dalam menggandeng masyarakat untuk mendukung misi perusahaan dalam meningkatkan pasokan lokal.
Risikonya bagi perusahan tidak saja di dalam pengelolaan lahan HGU yang dimiliki perusahaan, tapi juga lambatnya mekanisme kemitraan antara industri gula dengan Masyarakat pemilik lahan yang akan mengonversi tanaman lain ke tanaman tebu.
Pemerintah di semua tingkatan bersama dengan perusahaan gagal berkoordinasi dan berkomunikasi secara baik dan intens untuk meningkatkan daya tarik tanaman tebu bagi petani, sehingga lahan tebu dengan mekanisme kemitraan pun tidak berkembang secara baik.
Untuk daerah seperti Kabupaten Dompu, tepatnya di Kecamatan Pekat, daya tarik tanaman tebu masih kalah oleh daya tarik komoditas seperti Jagung, di mana tingkat produksinya terbilang sangat tinggi di Dompu.
Padahal keberlimpahan produksi jagung memiliki risiko komersial tersendiri bagi petani jagung, karena serta-merta harga turun drastis di saat masa panen.
Sehingga sebenarnya, jalan terbaik bagi Kabupaten Dompu untuk megurangi risiko tersebut adalah dengan melakukan diversifikasi komoditas andalan alias tidak hanya bergantung kepada jagung.
Nah, karena industri gula telah hadir di Dompu di tengah dua sektor andalan lain yang telah lebih dulu eksis, yakni jagung dan peternakan sapi lepas, jalan terbaik adalah ikut mengembangkan komoditas tebu, baik dengan bekerjasama secara intens dengan perusahaan dalam mengoptimalkan penggunaan lahan HGU ataupun kemitraan dengan mendorong secara bersama-sama terjadinya diversifikasi komoditas andalan daerah, yakni jagung, tebu/gula, dan peternakan (salah satu sektor andalan lain Dompu yang harus dilestarikan dan dikembangkan).
Pelajaran berharga dari Dompu ini sangat perlu menjadi perhatian semua pihak, karena akan dihadapi oleh para pihak di saat ingin menjadikan Indonesia berswasembada gula secara berkelanjutan ke depannya.
Untuk Dompu, misalnya, pengembangan tiga komoditas andalan daerah sebagaimana saya sebutkan di atas akan menjadi solusi kolaboratif dan “win-win” antara kepentingan nasional terkait dengan swasembada gula dan kepentingan komersial industri gula, kepentingan perekonomian daerah dalam rangka menyeimbangkan beberapa komoditas andalan agar tidak terjadi kerugian massal di saat panen raya terjadi karena hanya bergantung kepada satu komoditas, dan kepentingan masyarakat di kawasan industri gula dengan hadirnya peluang ekonomi baru yang sangat berpotensi menjadi sumber kesejahteraan.
Namun absennya aktor dan kelembagaan yang akan menjahit sinergitas ketiga kepentingan tersebut membuat industri gula di Dompu kurang berhasil mengoptimalisasi pasokan lokal, lalu semakin mempersulit pemerintah pusat dalam mencapai target swasembaga gula.
Sementara di sisi lain, kegagalan tersebut juga merugikan daerah, karena investasi mahal yang telah digelontorkan investor pemilik industri gula justru tidak terlalu berhasil memberikan kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi daerah karena kinerjanya tidak optimal.
Walhasil, masyarakat sekitar pun tidak maksimal dalam menikmati kemanfaatan investasi yang ada. Padahal potensinya sudah berada dalam posisi selangkah lagi menuju realisasi yang optimal dan saling menguntungkan.
Pasalnya, investasinya telah datang dan terjadi, tapi justru gagal ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait untuk mendapatkan manfaat seoptimal mungkin, baik bagi perekonomian nasional dan daerah maupun bagi masyarakat. Bukankah hal itu sangat disayangkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.