JAKARTA, KOMPAS.com - Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tengah berada dalam tren pelemahan. Bahkan, selama beberapa pekan terakhir, kurs mata uang Garuda terus berada di atas level psikologis Rp 16.00 per dollar AS.
Lantas, apakah nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dapat kembali ke level Rp 15.000?
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, jika melihat data historis selama 10 tahun terakhir, nilai tukar rupiah terus terdepresiasi setiap tahunnya. Ia menyebutkan, dalam periode tersebut, nilai tukar rupiah tidak pernah menguat.
"Kita itu enggak ada tren untuk menguat selama 10 tahun terakhir," kata dia, dalam acara Obrolan Newsroom Kompas.com, Rabu (19/6/2024).
Baca juga: Dalam Setahun Rupiah Melemah Hampir 10 Persen, Ekonom: Ini Tidak Baik untuk Perekonomian RI...
Lebih lanjut ia bilang, setiap tahunnya, nilai tukar rupiah terdepresiasi dalam rentang 5 - 10 persen. Oleh karenanya, alih-alih menguat, nilai tukar rupiah justru berpotensi semakin melemah ke depan.
Salah satu pemicunya ialah persepsi investor di pasar keuangan terhadap kebijakan fiskal pemerintah.
Arah kebijakan pemerintah dalam merumuskan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) menjadi penentu seberapa dalam depresiasi rupiah bakal terjadi ke depan.
Baca juga: Menteri PUPR Akui Pelemahan Rupiah Bakal Berdampak ke Proyek IKN
Tauhid pun menyoroti kabar yang menyebutkan, pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto berencana menaikan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB).
Meskipun sudah ditampik oleh tim Prabowo, kabar tersebut menjadi perhatian investor terhadap keberlanjutan kondisi APBN RI ke depan.
"Itu berisiko sekali dan besar sekali pengorbanannya," ujarnya.
Dengan rasio utang terhadap PDB yang semakin meningkat, maka ruang belanja pemerintah untuk mendorong ekonomi bakal semakin terbatas. Pasalnya, kebutuhan alokasi untuk membayar bunga dan pokok utang semakin besar.
Baca juga: Terpukul Pelemahan Rupiah, Bos Garuda Indonesia Dorong Tarif Batas Atas Direvisi