Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Pasca-Jokowi, Indonesia di Ambang "Triple" Defisit

Kompas.com - 27/06/2024, 08:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

POKOK-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun 2025, dibahas saat kecemasan pasar pada sustainability APBN Indonesia yang berimbas pada pelemahan kurs rupiah hingga menyentuh Rp 16.500 per dollar AS.

Risiko fiskal menanti di tengah depresiasi rupiah yang gap-nya cukup dalam, hampir 9,33 persen dari asumsi makro APBN 2025 sebesar Rp 15.000 per dollar AS.

Depresiasi rupiah tentu memicu risiko fiskal. Beban pembiayaan utang valas jatuh tempo akan meningkat, beban subsisi energi, demikian pun biaya impor.

Setali tiga uang, Indonesia di ambang triple defisit, yakni defisit anggaran (APBN), defisit transaksi berjalan, dan neraca perdagangan yang surplusnya menipis, di tubir defisit. Apa yang terjadi bila triple defisit?

Kombinasi defisit anggaran, defisit neraca transaksi berjalan, dan defisit neraca perdagangan dapat menciptakan situasi yang kompleks dan menantang bagi perekonomian Indonesia.

Kondisi ini dapat memperburuk kerentanan ekonomi, menurunkan daya saing, dan menghambat pertumbuhan ekonomi tahun depan.

Dalam asumsi dasar Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF), tampak postur kumulatif RAPBN terlihat tambun sebesar Rp 3.500 triliun.

Bisa dimaklumi, RAPBN 2025 mengakomodasi politik anggaran transisi, menimbang bejibun janji politik yang telah ditabur presiden dan wakil presiden RI terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming saat kampanye Pilpres 2024.

Janji politik tersebut idealnya tercermin dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai pijakan penyusunan RAPBN 2025 dan penjabaran visi misi presiden dan wakil presiden terpilih di Pemilu 2024.

Dalam asumsi dasar KEM-PPKF 2025, RAPBN direncanakan meningkat 14,59 persen - 15,18 persen dari tahun APBN 2024 sebesar Rp 3.325,1 triliun.

Peningkatan besaran RAPBN 2025, didorong oleh pengeluaran mandatory, dan rencana makan gratis yang menelan anggaran sekitar Rp 400 triliun.

Ekspansi fiskal demikian, berkonsekuensi pada semakin melebarnya defisit anggaran. Dalam asumsi dasar 2025, defisit anggaran menjadi 2,45 persen hingga 2,82 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Dus, dalam asumsi dasar 2025, defisit keseimbangan primer (primary balance) pun mengalami peningkatan dari 0,11 persen menjadi 0,30 persen hingga 0,61 persen terhadap PDB; yang berarti bahwa pemerintah masih gali lubang tutup lubang.

Kendati rasio defisit anggaran masih dalam batas toleransi undang-undang, namun semakin melebarnya defisit, justru membuat ruang fiskal semakin tidak fleksibel terhadap belanja produktif APBN yang memiliki multiplier effect terhadap ekonomi.

Yang mencemaskan adalah, meningkatnya RAPBN 2025, dipicu pengeluaran untuk konsumsi dalam satu program dengan porsi anggaran cukup besar, yakni untuk makan dan minum susu gratis.

Dalam salah satu rilis Menteri Keuangan Sri Mulyani, ia menyampaikan bahwa “anggaran makan gratis dan bergizi, sudah on budget sebesar Rp 71 triliun dalam asumsi dasar 2025 dengan range deficit anggaran 2025 sebesar 2,45 persen".

Artinya, pemerintahan Prabowo-Gibran, akan mengalokasikan program MGB tersebut secara multy years hingga 2029.

Exit strategy

Dalam judul advertorial kerangka ekonomi makro 2025, terpampang tulisan “Akselerasi Pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.”

Tema ini menjadi pesan yang menyiratkan makna bahwa ekonomi berkelanjutan, perlu didukung juga tatanan fiskal berkelanjutan.

Postur anggaran yang besar dan didominasi oleh pengeluaran untuk konsumsi, justru menjadikan APBN besar secara kuantitatif, tapi rendah secara kualitatif. Hal tersebut terlihat kontribusi sektor-sektor PDB terhadap penerimaan negara.

Dalam bahan tayang Dirjen Pajak dalam PEM-PPKF 2025, disampaikan bahwa realisasi penerimaan pajak yang tumbuh positif hingga April 2024 adalah PPN dan PPNBM sebesar 5,93 persen dari target 26,93 persen.

Sementara PBB dan pajak lainnya, PPh Migas dan Non Migas semuanya tumbuh negatif.

Data ini menggambarkan bahwa sektor konsumsi yang menjadi penyelamat penerimaan pajak hingga April 2024. Hal ini sekaligus menggambarkan bahwa konsumsi masih menjadi penyelamat ekonomi dari sisi penerimaan negara.

Hal ini juga sekaligus menggambarkan bahwa pemerintah sangat bergantung pada konsumsi sebagai sumber pendapatan utama.

Menurut hemat penulis, konsumsi yang tinggi sering kali didorong oleh kelompok pendapatan tinggi, yang dapat menyebabkan peningkatan ketimpangan jika pemerintah tidak menginvestasikan kembali pendapatan tersebut ke dalam program yang mendukung kelompok pendapatan rendah.

Selain itu, negara yang konsumsinya tinggi cenderung mengimpor lebih banyak barang dan jasa, yang dapat menyebabkan defisit perdagangan dan tekanan pada nilai tukar mata uang dalam kondisi pasar uang fluktuatif di tengah ketidakpastian global yang masih terjadi.

Pemerintah perlu menyeimbangkan antara mendorong konsumsi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan memastikan bahwa ada investasi yang cukup dalam aset produktif dan layanan publik untuk pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan.

Diversifikasi sumber pendapatan dan pengelolaan kebijakan fiskal yang prudent adalah kunci untuk mengurangi risiko yang terkait dengan ketergantungan berlebihan pada konsumsi.

Kualitas ekonomi yang masih rendah dapat dilihat pada sektor-sektor ekonomi yang mengalami kontraksi dan perlambatan di Triwulan I 2024.

Padahal, sektor ekonomi dimaksud, paling banyak menyerap lapangan kerja (employment absorber), tetapi mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja pada Triwulan I-2024.

Sektor pertanian, misalnya, pada Februari 2024, berkontribusi terhadap penyerapan total tenaga kerja sebesar 28,64 persen atau turun dari periode yang sama di tahun 2023 sebesar 29,36 persen.

Penurunan penyerapan tenaga kerja juga terjadi pada sektor industri dan perdagangan.

Alhasil, pengangguran yang masih tinggi sebesar 7,2 juta orang pada Februari 2024, merefleksikan kualitas pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Data pengangguran demikian, jauh lebih tinggi dibanding Pandemi Covid-19 sebesar 6,9 juta orang.

Kondisi ini menggambarkan bahwa APBN yang besar tak selamanya menggambarkan kualitas ekonomi yang baik. Selayaknya orang dengan kondisi obesitas, gemuk, tapi penyakitan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com