Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Transisi Energi Perkeruh Inflasi?

Kompas.com - 13/07/2022, 12:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM memimpin perang melawan perubahan iklim, seluruh pemangku kepentingan dalam perjuangan transisi energi harus mengatasi tantangan dan rintangan tanpa henti.

Dan dalam perkembangannya, kemajuan besar transisi energi sudah di depan mata, karena biaya energi terbarukan secara rata-rata turun drastis dalam satu dekade terakhir.

Teknologi telah berkembang pesat dan sekarang energi terbarukan berada tepat di jantung transisi energi.

Tidak diragukan lagi hal ini dilihat sebagai senjata pilihan bagi pemerintah yang ingin mendekarbonisasi sistem energi dengan cepat demi ketahanan energi nasional.

Namun, Bank Sentral Eropa (ECB) menyebutkan salah satu tantangan besar menghadang saat sektor energi bersih semakin menjadi fokus utama, yaitu greenflation.

Secara sederhana, greenflation merupakan indikasi kenaikan tajam harga bahan seperti logam, mineral seperti lithium, dan sumber daya lain seperti tenaga kerja, energi dan bahan bakar yang digunakan dalam penciptaan teknologi dan proyek energi terbarukan.

Transisi energi di masa pandemi COVID-19 merupakan double kill rantai pasokan global yang menyebabkan meningkatnya biaya bahan baku dan kekurangan tenaga kerja global.

Pada gilirannya, ini berarti biaya manufaktur dan logistik yang lebih tinggi di seluruh rantai nilai, termasuk untuk komponen, peralatan modal, dan sumber daya teknis.

Saat dunia bergerak masif menghijaukan seluruh sendi pasokan energinya, maka demand transisi hijau akan semakin diminati dan semakin mahal jika tak didukung dengan dorong supply yang memadai.

Terlepas dari berbagai pandangan konsekuensi akibat pengembangan energi terbarukan, indeks harga komoditas terkerek secara dramatis.

Harga lithium, misalnya, elemen penting dari baterai mobil listrik yang telah melonjak ke rekor tertinggi. Begitu pun untuk harga tembaga, yang dibutuhkan di setiap bagian kabel listrik.

Harga komoditas energi yang dipublikasikan Bank Dunia pada Maret 2022 telah melonjak 63,4 persen selama 12 bulan terakhir. Sementara komoditas non-energi, termasuk logam dan mineral meningkat 22,7 persen.

Kenaikan harga komoditas baik energi maupun non-energi menyebabkan biaya pengembangan proyek energi terbarukan meningkat.

Dorongan untuk proyek pembangkit listrik tenaga terbarukan ketika negara-negara berusaha mencapai tujuan nol bersih pun semakin kuat, di samping kejayaan subsidi pemerintah mulai memudar.

Penghapusan subsidi justru memicu persaingan sengit elite politik dalam mempertahankan kebijakan populer menjelang pemilu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com