Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Arah Strategis Pertumbuhan Ekonomi

Kompas.com - 22/12/2022, 12:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN 1994, edisi November/Desember nomor 73, Foreign Affair menerbitkan tulisan Paul Krugman berjudul "The Myth of Asia’s Miracle". Tulisan yang cukup mengesankan saya, sekalipun saya bukanlah seorang pengagum berat para New Keynesian.

Bagi Krugman ketika itu, keajaiban Asia via pertumbuhan ekonomi mengesankan dari negara-negara industri baru, jika tak benar-benar meniru Jepang, hanyalah pertumbuhan yang "menunggu untuk tidak tumbuh."

Krugman mencoba membandingkan pertumbuhan mengesankan di negara-negara industri baru Asia era 1980-1990-an dengan masa-masa awal Uni Soviet, yang tumbuh sangat progresif di fase awal lalu berakhir tragis.

Pertumbuhan di negara industri baru Asia akhir 1980-an dan 1990-an, layaknya Uni Soviet, adalah pertumbuhan yang dibangun di atas upaya mobilisasi besar-besaran "input," sehingga secara rasional akan memberikan dorongan kepada "output."

Namun, kata Krugman, negara industri baru Asia bermasalah dengan institusi dan struktur ekonomi yang tidak demokratis, sehingga sulit untuk mendapatkan efisiensi dan mendorong teknologisasi selama bertentangan dengan kepentingan para diktator yang berkuasa di negara-negara Asia.

Uni Soviet berhasil memobilisasi modal, barang modal, dan tenaga kerja di dua dekade awal pascaperang dunia kedua.

Namun karena institusi dan struktur ekonomi politik yang korup dan monolitik, Uni Soviet gagal memperbaiki efisiensi ekonominya yang berakibat pada perlambatan pertumbuhan secara bertahap.

Sementara Jepang pascakekalahan, berhasil memobilisasi berbagai sumber daya sembari melakukan terobosan-terobosan managerial dan teknologikal, yang mendorong input tidak saja menjadi sangat produktif, tapi juga dikelola dengan sangat kreatif.

Input besar yang digelontorkan ke dalam sistem ekonomi disambut dengan kreatifitas teknologikal dan efisensi managerial, lalu menghasilkan "keberlanjutan" yang nafasnya lebih panjang dibanding Uni Soviet.

Walhasil, Jepang berhasil mencapai pendapatan perkapita sekira 80 persen dibanding Amerika pada era awal 1990-an sebelum dihadang resesi dan stagnasi.

Layaknya Jepang di era Meiji yang berhasil menyejajarkan diri dengan negara-negara industri di Eropa barat dan Amerika Utara sebelum perang dunia pertama, Jepang pascaperang dunia kedua menorehkan raihan yang sama dengan duduk sejajar bersama negara-negara maju di dalam komunitas G7 dan OECD, satu-satunya dari Asia tahun 1990-an.

Namun, negara industri baru Asia seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Indonesia, terus memobilisasi input dalam lingkungan yang otokratik-monolitik dengan managemen yang sangat pro-diktator, pada waktunya akan berhenti tumbuh progresif ketika negara tak mampu lagi memobilisasi berbagai sumber daya untuk digelontorkan sebagai "input" ekonomi.

Tak butuh waktu lama asumsi dari Paul Krugman tersebut berbuah fakta. Tiga tahun kemudian, 1997, krisis Asia membuktikan itu. Tata kelola yang otokratik menghasilkan managemen ekonomi yang dipenuhi praktik KKN.

Walhasil, krisis mata uang yang bermula di Thailand berujung pada tumpukan utang dari para pengusaha yang notabene adalah kroni dan keluarga dari penguasa.

Devaluasi Yen sebelum Plaza Accord 1985 membuahkan utang murah dari negeri Sakura yang dilahap oleh konglomerasi-konglomerasi rekanan penguasa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com