Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Angga Ariestya
Dosen

PhD candidate Institute of Communication Studies & Journalism, Charles University, Praha. Dosen Komunikasi Strategis Universitas Multimedia Nusantara.

Ramai-ramai Salah Memaknai Thrifting

Kompas.com - 06/04/2023, 14:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELUM lama ini publik diramaikan dengan perbincangan tentang thrifting yang disebut merugikan dan melanggar hukum.

Thrifting merugikan karena dianggap hanya mengimpor sampah fesyen dari luar negeri dan membunuh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia karena kalah bersaing harga.

Disebut melanggar hukum karena aktivitas impor pakaian bekas telah dilarang sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021, yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Namun, yang perlu dicermati adalah pemaknaan yang salah tentang thrifting oleh publik. Komunikasi publik pemerintah dan media ramai memberitakan thrifting dengan bingkai berita yang diasosiasikan dengan “pakaian impor bekas”.

Dari sinilah pemaknaan yang salah tentang thrifting berkembang di masyarakat walaupun pemerintah dan media kemudian menegaskan bahwa larangan tersebut ditujukan pada pakaian impor bekas, bukan kegiatan thrifting.

Dilema thrifting

Berdasarkan penelitian Aneta Podkalicka dan Jason Potts dari Universitas Swinburne dan RMIT di Australia, pengertian thrifting sesungguhnya berhubungan dengan penghematan dalam konsumsi yang telah bergeser maknanya seiring kemapanan kapitalisme.

Makna thrifting semakin berkembang di negara maju dengan ekonomi pasar, menjadi praktik konsumsi gaya hidup yang etis.

Disebut etis karena hal-hal yang berkaitan dengan konsumsi yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan, salah satu manifestasinya adalah kampanye-kampanye reduce, reuse, dan recycling.

Thrifting kemudian menjadi erat kaitannya dengan perilaku konsumsi kembali atau reuse dalam mode fesyen.

Sayangnya, di Indonesia, thrifting berkembang demikian pesat karena antusias masyarakat yang mengejar barang branded dengan harga murah.

Kebutuhan tersebut terpenuhi dengan hadirnya pedagang-pedagang barang thrifting yang menyediakan pakaian impor bekas dengan harga terjangkau.

Terima kasih juga kepada media sosial yang kemudian membuat aktivitas thrifting semakin tren di masyarakat karena akses informasi yang mudah, murah, dan cepat.

Bagian dari slow fashion movement

Thrifting menjadi bagian dari slow fashion movement atau gerakan fesyen lambat yang digagas para akademisi dan praktisi fesyen berkelanjutan di Amerika dan Inggris.

Menurut hemat saya, thrifting sangat mendukung ekonomi sirkuler yang menjadikan bisnis fesyen tersikulasi dengan baik. Dampaknya justru akan dapat mengurangi sampah fesyen.

Memang thrifting bukanlah satu-satunya cara mendukung fesyen sirkuler, namun thrifting dapat menyukseskan perubahan sistem produksi dan konsumsi fesyen seperti gagasan slow fashion movement atau gerakan fesyen lambat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com