Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Dapatkah Kita Menopang Perekonomian Bebas Pajak?

Kompas.com - 02/05/2023, 14:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERPAJAKAN telah muncul pada hampir setiap kisah di sepanjang sejarah peradaban sejak pertama kali tercatat ada di Mesir Kuno lebih dari lima milenium silam.

Meski hadir dengan beragam bentuk dan nama, pemungutan pajak lazimnya memiliki satu tujuan fundamental yang sama: mendanai anggaran publik untuk mendukung jalannya perekonomian secara keseluruhan.

Kendati demikian, kesukarelaan perpajakan bukanlah hal mudah dibentuk dan bahkan masih menjadi postulat yang diperdebatkan keabsahannya.

Pada tahun 2020 saja, rasio pajak Indonesia yang sebesar 10,1 persen produk domestik bruto menjadi yang terendah ketiga di Kawasan Asia-Pasifik, jauh di bawah rata-rata sebesar 19,1 persen.

Meski begitu, perekonomian nasional tampaknya tetap berhasil tumbuh kuat sebesar 5,3 persen tahun 2022, melampaui rata-rata pertumbuhan negara-negara berkembang lainnya sebesar 4,4 persen sebagaimana dilaporkan International Monetary Fund (IMF).

Kekontrasan ini seyogianya menimbulkan pertanyaan besar: seberapa haruskah perpajakan ada dalam perekonomian kita?

Menjamin keberlangsungan anggaran

Menggelorakan pembangunan berarti menjadikan perpajakan sebagai salah satu kebijakan fiskal prioritas. Ini bukanlah tanpa alasan.

Hingga kini, pemungutan pajak masih menjadi jalan terbaik dalam menopang struktur anggaran untuk membiayai belanja pembangunan kualitas sumber daya manusia, infrastruktur, dan kesejahteraan sebagaimana turut dinyatakan Bank Dunia.

Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 saja, penerimaan perpajakan masih menjadi sumber pendapatan negara terbesar dengan proporsi 82,1 persen yang naik dari sumbangsih 77,5 persen pada tahun sebelumnya.

Kondisi ini tidak hanya berlaku di Indonesia, melainkan juga hampir di segenap negara lainnya.

Di Singapura, penerimaan perpajakan merupakan kontributor fundamental yang menyumbang sebesar 90,7 persen total pendapatan, lebih tinggi dari 74,7 persen di Thailand, dan 75 persen di Malaysia.

Tanpa perpajakan, kita harus menemukan alternatif yang lebih baik untuk mengganti hilangnya sumber pendapatan negara senilai Rp 2.021,2 triliun.

Jika pengalihan ke pembiayaan utang dipilih, akan timbul lonjakan tajam sebesar 337,8 persen nilai awal defisit tahun 2023, sehingga opsi pembiayaan mestinya menjadi jalan paling akhir (last resort) yang diambil.

Di sisi lain, privatisasi mungkin dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan lebih besar bagi pihak swasta untuk mengelola sektor publik. Namun ini justru akan menimbulkan beban keuangan yang lebih besar bagi masyarakat dibanding ketika harus membayar perpajakan.

Bagaimana dengan negara surga pajak?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com