Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Kapitalisme Finansial dan Krisis yang Berulang

Kompas.com - 21/06/2023, 10:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

CREDIT Suisse (CS) masuk kategori global systematically important bank (GSIB), versi Financial Stability Board, baik karena total aset maupun karena area operasi yang luas, sekitar 50 negara dan banyaknya subsidiary. Jadi cukup bisa dipahami mengapa beberapa waktu lalu otoritas moneter Swiss bergerak cepat menanganinya.

Namun CS adalah salah satu GSIB yang paling kotor dan ceroboh dalam keputusan-keputusan bisnisnya beberapa waktu belakangan. Dananya banyak keluar karena harus membayar denda di mana-mana, baik karena kasus cuci uang milik para oligark dan drug dealer/smuggler, membantu upaya tax evasion untuk para nasabahnya, juga karena misalokasi kapital yang berakibat rugi besar.

Misalokasi kapital terbesar terjadi tahun 2021, saat CS menaruh modal nasabahnya ke Greensill Capital dan Archegos Capital.  Sejak dua tahun lalu, aset  CS merosot terus dari 800-an miliar dolar Amerika Serikat (AS) ke 700-an miliar dolar tahun lalu. Asetnya terus “nyemplung” lagi menjadi 500-an milair dolar, sampai akhirnya asetnya terhitung lebih rendah dari likuiditas alias insolvency (kondisi bangkrut).

Baca juga: Credit Suisse akan Diakuisisi UBS, Sandiaga: Kita Lihat Secara Kasat Mata Sudah Baik, tapi Ternyata...

CS kemudian meminta pinjaman lunak kepada bank sentral Swiss sekitar 54 miliar dolar. Ujungnya, sebagaimana yang telah kita saksikan, otoritas moneter Swiss pun akhirnya meminta kompetitor "hidup mati" CS untuk mengakuisi saham CS, yakni UBS.

Jika UBS bersedia mengambil alih (take over) CS, bank sentral akan menyediakan pinjaman lunak sekitar 100-an miliar dolar dengan jaminan kerugian sekitar 6 miliar dolar kalau akuisisi tersebut berbuah rugi. UBS tampaknya benar-benar memanfaatkan momen. Harga saham CS ditekan terus sampai ke titik terendah.

Di sisi lain, dana pinjaman dan jamiman kerugian berasal dari pembayar pajak Swiss alias dari pemerintah. Mengapa? Karena status CS adalah GSIB, sama dengan GP Morgan, BNP Paribas, ABN Ambro, dan lainya. Artinya, “to let it go, burn the world”.

Penurunan aset CS seiring dengan terjun bebas harga sahamnya sejak dua tahun terakhir, dari 16 dolar “nyungsep” sampai 2 dolar, yang membuat investornya rugi besar. Kemudian permintaan atas produk credit default swap (CDS) Credit Suisse meningkat tajam, alias nilainya bergejolak.

CDS adalah derivative product, semacam asuransi untuk produk derivatif, alias derivatifnya derivatif. Peningkatan permintaan atas CDS mengindikasikan risiko investasi di CS semakin tinggi. 

Contoh menarik adalah CDS milik AIG pada krisis keuangan 2008. AIG menjual CDS untuk memproteksi kerugian transaksi di mortgage backed securities (MBS) dan credit default obligation (CDO).

Saat krisis MBS dan CDO terjadi tahun 2008, para nasabah yang nilai asetnya berubah menjadi sampah alias rugi, menagih CDS-nya ke AIG.  Sialnya, AIG tak memiliki likuiditas yang cukup, karena dana dari penjualan CDS ternyata dibelanjakan kembali ke pasar derivatif oleh AIG. Artinya, AIG juga menyimpan MBS dan CDO di dalam bukunya. Walhasil, aset AIG juga menyusut tajam.

Baca juga: Buntut Krisis Perbankan Dunia, Saham Credit Suisse dan Bank-bank Eropa Rontok

CS memiliki empat lini bisnis, yakni wealth management, conventional bank, investment bank, dan asset management. Pendapatan terbesarnya datang dari wealth management (servis finansial untuk orang kaya) dan conventional bank. Dalam beberapa tahun terakhir, kedua lini bisnis ini terus bermasalah, kena kasus dan misalokasi kapital milik nasabah.

Investment bank CS juga semakin sedikit mencatatkan layanan initial public offering (IPO) atau pencatatan saham perdana di pasar modal.

Jadi Pelajaran Penting

Apa pelajaran yang bisa dipetik? Pertama, pelaku pasar tidak selalu rasional, sebagaimana tesis para penganut pasar bebas. Mereka bisa mengalami misalokasi kapital,  baik karena asimetri informasi, irrational exuberance (kegembiraan atau kegairahan yang tak masuk akal), maupun karena niat buruk (misalnya mencuci uang oligark). Artinya, menyerahkan keputusan ekonomi kepada pasar sepenuhnya juga memiliki risiko, jika tak ada mekanisme kontrol yang terukur.

Namun penganut sosialisme jangan senang dulu karena tidak berarti bahwa negara dan pemerintah jauh lebih baik dalam hal alokasi kapital. Negara bahkan lebih berpeluang melakukan misalokasi kapital karena berbagai faktor, baik karena perang kepentingan, asimetri informasi atau karena kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) yang akhirnya melahirkan winner dan loser yang  justru merusak kompetisi di pasaran. 

Lihat saja di negera kita, proyek dan event acapkali rugi, lalu meminta negara untuk menutupnya via penyertaan modal negara (PMN). Perbedaanya, kalau negara melakukan misalokasi kapital, tahun depan negara mempunyai kapital lagi untuk melakukan misalokasi lainya karena pungutan pajak jalan terus. Paling pahit pemerintah mengalami vote out di pemilihan selanjutnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com