Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Kapitalisme Finansial dan Krisis yang Berulang

Kompas.com - 21/06/2023, 10:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sementara kalau pelaku pasar melakukan misalokasi, risikonya tahun depan bisa krisis likuiditas atau bisa pula langsung insolvent

Baca juga: Begini Cara Bangkit dari Krisis Finansial Berkepanjangan

Kedua, finansialisasi berlebihan  tak selamanya baik. Upaya mendapatkan dana segar dari aksi sekuritisasi dan re-sekuritisasi (derivatif) ada batasnya. Selama pertumbuhan bisnis riil atau fundamental bisnisnya berjalan baik, selama itu pula bisnis derivatifnya masih bisa diandalkan.

Tetapi jika bisnis dasarnya mengalami penurunan, maka jual beli dan penerbitan derivatifnya harus dibatasi. Namun kenyataannya, ketika ekonomi riil melamban, derivatif nya semakin agresif, apalagi ditambah embel-embel asuransi, investor semakin berbondong-bondong masuk.

Bubble pun tak terhindarkan (irrational exuberance). Misalnya di AS tahun 2003-2006 sinyalnya sudah terlihat. Rumah-rumah disita semakin banyak (foreclosure). Pembayaran tagihan mortgage menurun seiring dengan penurunan harga rumah.

Walhasil, saat terungkap banyak tagihan yang macet, aset-aset derivatifnya langsung masuk kategori sampah. Untuk menghindari penurunan harga aset, para pelaku memasukan kapital lebih banyak ke dalam pasar untuk menggenjot permintaan.

Tak terhindarkan, harga aset terdeviasi sangat jauh dari produk riilnya, ditambah dengan adanya sistem pengenaan bunga yang membuat bubble semakin berbahaya. Jalan satu-satunya agar tidak terjadi bubble adalah membuat bisnis riilnya berjalan mulus terus, yang notabene tidak mungkin.

Dalam skala negara, ekonomi harus tumbuh stabil terus, kalau bisa tinggi.  Seperti kata para Austrian economist, aktivitas ekonomi dan  bisnis memiliki siklusnya sendiri. Bahasa awamnya, roda berputar, kadang di atas kadang di bawah. Jadi bisnis bisa lahir, tumbuh, dewasa, matang, antiklimaks, lalu menurun, bahkan hilang. 

Kalau mayoritas pelaku pasar berada pada irama yang sama saat siklusnya menurun, saat itulah kita memasuki era resesi. Jadi, karena proses ini, krisis pada sistem kapitalisme finansial akan terus berulang dalam periode tertentu. Perbedaannya hanya terletak pada skala, magnitude, sektor, atau pemicunya.

Kendati demikian, sistem semacam ini telah membangun dunia ini seperti hari ini. Gedung-gedung megah, jalan bebas hambatan, hotel-hotel mewah, rumah-rumah mentereng, teknologi canggih, utilitas, transportasi, kartu kredit, gadget, bahkan segalanya, tak lepas dari sistem ini.

Karena itulah kenapa Pyongyang atau Kabul terasa sangat ketinggalan, dibanding Tokyo, New York, Dubai, London, Shanghai,  Jakarta, dan seterusnya.  Sistem kapitalisme finansial terus berdinamika. Sistem itu dibangun, lalu runtuh, dibangun lagi yang lebih baik, runtuh lagi, dibangun lagi yang jauh lebih baik, lalu runtuh lagi, terus bergerak seperti itu, dan ujungnya menjadi semakin baik, tapi tetap waspada untuk runtuh agar bisa membuat yang lebih baik lagi.

Ritme itu membuat kapitalisme bergerak progresif. Dengan demikian, melihat persoalan krisis secara hitam dan putih, misalnya kapitalisme lebih buruk dari sosialisme atau komunisme, tampaknya tak membantu, bahkan boleh jadi makin mengacaukan sudut pandang kita.

Karena kedua sistem sama-sama tidak stabil. Bahkan komunisme, sekali goyang bisa langsung tsunami, seperti yang dialami Soviet atau yang nyaris dialami China tahun 1989.

Namun ritme kapitalisme finansial harus benar-benar dipahami secara jelas, agar krisis akibat gelembung sektor keuangan tidak merusak ekonomi secara keseluruhan ,seperti yang terjadi di tahun 1997/1998 di Indonesia, atau tahun 2008 di AS.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com