BELUM lama ini, pasar cukup dikejutkan dengan warta pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terbaru.
Di tengah ketidakpastian dan prognosis yang muram, Indonesia ternyata masih mampu mencatat angka pertumbuhan pada taraf 5,17 persen (y-o-y). Lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya dan melampaui ekspektasi pasar.
Per kondisi ini rupanya tidak lepas dari inflasi inti yang berhasil dikoridori dan dikembalikan ke titik seyogianya, terlebih prosesnya terjadi secara cepat.
Alhasil, meski napas ekspor tidak sekuat sebelumnya, konsumsi dan investasi masih berhasil mencagak pertumbuhan ekonomi saat ini.
Tapakan jelas terlihat dari kontribusi berbagai perhelatan internasional serta perayaan keagamaan yang digelar di Indonesia per bulan April hingga Juni, nampaknya memberikan efek crowding-in yang berarti dan cukup merangsang aktivitas ekonomi dalam negeri.
Namun, menjaga momentum ke depan sepertinya bukan hal yang mudah dan akan semakin menantang. Pasalnya, serial pengetatan kebijakan moneter The Fed belum berakhir dan ekonomi Tiongkok terus melemah hingga deflasi menjadi kekhawatiran utama.
Lebih lagi, tensi antara Rusia dan Ukraina yang terus mengalami eskalasi membuat ekonomi Eropa kian sulit, sehingga melemahkan otot perdagangan global dan berisiko mengindahkan tren deglobalisasi.
Dalam jangka pendek, tiap perkara ini tentunya akan membuat ekspor Indonesia kian melemah dan tidak bisa sepenuhnya diandalkan sebagai mesin penggerak ekonomi kembali.
Waspada deflasi Tiongkok adalah sebuah keniscayaan. Paling tidak, detail laporan dari Biro Statistik Nasional Tiongkok bahwa indeks harga konsumen (IHK) pada Juli 2023 mengalami penurunan sebesar 0,3 persen secara year-on-year (yoy), lebih rendah dari hitungan proyeksi ekonom dengan deflasi 0,4 persen.
Tentu ini memiliki konsekuensi tersendiri bagi perekonomian Indonesia. Jika ditarik dalam aras bisnis, maka fenomena deflasi Tiongkok berakibat pada pola meningkatkan tingkat suku bunga riil atau suku bunga yang disesuaikan dengan inflasi dalam perekonomian.
Tentu kenaikan biaya cicilan pinjaman bisa mengurangi kemampuan pelaku bisnis untuk berinvestasi yang bisa berakibat permintaan berkurang dan mendorong potensi deflasi lebih lagi.
Terlebih pascacovid-19 di mana pemulihan ekonomi belum pada jalur yang meyakinkan.
Tiongkok sementara ini didera pengangguran muda yang merajalela, harga rumah merosot tajam, dan harus diwaspadai adalah membajirnya produk murah di sana. Konsekuensi juga akan mengerus pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepan.
Belum lagi, tekanan di pasar keuangan dan perdagangan sebagai akibat dari ketidakpastian global, berpotensi besar mendorong imported inflation yang dapat menggerus konsumsi bila tidak dikoridori secara berhati-hati.
Indonesia juga mulai memasuki tahun politik yang akan membuat para investor lebih waspada, ditambah posisi suku bunga yang masih cukup tinggi untuk sekarang.