Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
INDEF Insight
Riset

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) adalah lembaga riset independen dan otonom yang berdiri pada Agustus 1995 di Jakarta. Aktivitas Indef antara lain melakukan riset dan kajian kebijakan publik, utamanya dalam bidang ekonomi dan keuangan. Kajian Indef diharapkan menciptakan debat kebijakan, meningkatkan partisipasi dan kepekaan publik pada proses pembuatan kebijakan publik. Indef turut berkontribusi mencari solusi terbaik dari permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia.

Alergi Deindustrialisasi

Kompas.com - 31/08/2023, 09:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Andry Satrio Nugroho*

Layaknya alergi, kata deindustrialisasi membuat Pemerintah bereaksi menyangkal seolah tidak terima bahwa Indonesia mengalami gejala ini.

Pemerintah berbondong-bondong berupaya membuktikan bahwa Indonesia tidak mengalami gejala deindustrialisasi.

Baca juga: Kemenperin Bantah Indonesia Alami Deindustrialisasi Dini

Upaya itu mulai dari argumen masih tingginya kebergantungan industri pada ekonomi, belum menurunnya tenaga kerja sektor manufaktur, hingga masih meningkatnya investasi di subsektor industri tertentu.

Padahal, deindustrialisasi tidak selamanya buruk.

Istilah ini pertama kali muncul pada 1960. Saat itu, deindustrialisasi dialami oleh negara maju, ditandai dengan menurunnya kontribusi sektor manufaktur dalam perekonomian suatu negara.

Hal itu terjadi sebagai konsekuensi bagi negara maju yang mengalami pergeseran struktur ekonomi, dari sektor industri manufaktur menuju sektor jasa.

Baca juga: Arus Balik Deindustrialisasi Dini

Sektor industri negara maju tidak lagi kompetitif seiring dengan meningkatnya upah tenaga kerja—karena keterampilan yang juga meningkat hingga hanya menguasai subsektor industri tertentu, yang biasanya merupakan industri padat teknologi.

Namun, deindustrialisasi pada hari ini juga dialami oleh negara berkembang, termasuk Indonesia. Istilahnya, deindustrialisasi dini atau prematur.

Deindustrialisasi dini atau prematur merupakan istilah untuk menggambarkan kondisi negara berkembang yang sudah mengalami penurunan kontribusi industri manufaktur.

Baca juga: Bappenas: Indonesia Alami Deindustrialisasi Dini

Disebut dini atau prematur karena negara berkembang belum mendapatkan manfaat optimum dari sektor manufaktur tetapi struktur ekonomi sudah mulai bergeser ke sektor jasa.

Salah satu imbas nyata dari deindustrialisasi prematur adalah pengangguran di sektor manufaktur. Tenaga kerja belum siap. Keterampilan yang dimiliki masih belum memenuhi permintaan sektor jasa.

Saat ini kontribusi industri manufaktur Indonesia terhadap perekonomian sebesar 18,3 persen. Capaian ini turun dibandingkan 10 tahun lalu yang tercatat sebesar 21,4 persen.

Sekilas, kontribusi ini memang masih terlihat besar. Namun, rata-rata penurunan kontribusi industri manufaktur selama 10 tahun terakhir sebesar 1,5 persen per tahun.

Penurunan ini lebih cepat dibandingkan negara sebaya seperti Thailand yang hanya turun rata-rata 0,6 persen per tahun. Di satu sisi, Malaysia malah naik rata-rata 0,1 persen per tahun.

Baca juga: Benarkah Indonesia Alami Deindustrialisasi Dini? Ini Kata Pakar Unpad dan UI

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com