Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Hilirisasi Industri dan Dampaknya bagi Perekonomian Nasional

Kompas.com - 04/09/2023, 17:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELAKANGAN ini, beberapa ekonom dan pengamat ekonomi gencar mempersoalkan hilirisasi sebagai kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat, sebaliknya menguntungkan pihak asing.

Tak jelas apa latar belakang dan motif mereka mengemukakan pandangan bernada sumbang seperti itu.

Walau sering diterpa kritik pedas, komitmen pemerintah Indonesia untuk memberlakukan kebijakan hilirisasi tak pernah surut.

Kebijakan hilirisasi industri diarahkan ke seluruh industri dengan fokus pada tiga sektor utama, yaitu industri berbasis agro, berbasis bahan tambang dan mineral, serta berbasis migas dan batu bara.

Hilirisasi industri berbasis agro

Sektor industri agro adalah salah satu industri strategis yang menjadi andalan masa depan perekonomian nasional.

Hal itu karena Indonesia memiliki lahan pertanian/perkebunan, perikanan/kelautan, peternakan, dan kehutanan yang amat luas.

Di sektor pertanian, misalnya, Indonesia menghasilkan padi, kedelai, jagung, kacang tanah, ketela pohon, ubi jalar dan lain-lain.

Selain itu, Indonesia kaya dengan hasil pertanian/perkebunan berupa tanaman perdagangan seperti sawit, kakao, teh, kopi, kelapa, tebu, karet alam, kina, cengkeh, pala dan lain-lain.

Sayangnya hingga dekade 2000-an, sebagian besar hasil pertanian itu diekspor dalam bentuk mentah sehingga perolehan nilai tambah di dalam negeri tidak optimal.

Contoh, pada 2007, ekspor minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) sekitar 60 persen dari total ekspor kelapa sawit nasional. Padahal, CPO digunakan sebagai bahan baku industri pangan, nonpangan dan biofuel di negara tujuan ekspor.

Kemudian, berdasarkan Permen Perindustrian Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Permen Perindustrian Nomor 111/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit, dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional 2015-2035 serta beberapa peraturan tentang Kebijakan Industri Nasional, pemerintah melalui Kemenperin menerapkan bauran kebijakan (policy mix) secara konsisten dalam menjalankan program hilirisasi industri kelapa sawit.

Program hilirisasi industri sawit dilakukan antara lain dengan cara optimalisasi penyerapan hasil produksi petani rakyat (smallholder), penyediaan bahan pangan, nonpangan, dan bahan bakar terbarukan, hingga membangkitkan ekonomi produktif berbasis industri pengolahan.

Untuk mendorong percepatan hilirisasi industri sawit, pemerintah memberlakukan kebijakan fiskal tarif bea keluar progresif sesuai rantai nilai industri, dan insentif perpajakan bagi investasi baru atau perluasan sektor industri oleofood, oleochemical, dan biofuel.

Melalui kebijakan bea keluar yang berorientasi pro-industri, pertumbuhan kapasitas produksi industri minyak goreng, oleofood, oleokimia, dan biodiesel meningkat secara signifikan.

Pada 2010, kapasitas pabrik pengolahan CPO (refinery) hanya sekitar 25 juta ton. Namun, melalui kebijakan hilirisasi yang konsisten, kapasitas refinery meningkat tiga kali lipat menjadi 75 juta ton pada 2022.

Sementara itu, kapasitas terpasang pabrik biodiesel saat ini telah mencapai 17,5 juta ton per tahun, kapasitas terpasang industri oleofood mencapai 2,7 juta ton per tahun, dan kapasitas terpasang industri oleokimia mencapai 11,6 juta ton per tahun.

Kini industri sawit dari sektor hulu sampai hillir mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 5,2 juta orang dan menghidupi lebih dari 21 juta jiwa.

Pada sisi lain, program hilirisasi telah mendongkrak ekspor produk industri sawit hingga mencapai total volume 282 juta MT dengan total nilai 176,84 miliar dolar AS selama periode 2015-2022.

Pada 2015, komposisi ekspor minyak sawit meliputi 18 persen CPO dan 6 persen CPKO, yang keduanya merupakan bahan baku industri, dan sisanya 61 persen produk refinery serta 15 persen produk lainnya.

Pada 2022, komposisi ekspor bahan baku mengalami penurunan menjadi 2 persen CPO dan 4 persen CPKO. Sebaliknya ekspor produk hilir meningkat signifikan, meliputi 73 persen produk refinery dan 21 persen produk lainnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com