Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Janji Populis dan Instabilitas Ekonomi Jangka Panjang

Kompas.com - 09/10/2023, 08:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JELANG Pemilu 2024, gelombang populisme para politisi dimulai. Bakal calon presiden (capres) serta para pemimpin partai mulai menyusun strategi dengan gencar menebar janji manis dan populis agar partainya berhasil menembus parlemen.

“Gratis”, “naik gaji”, atau “harga murah” menjadi beberapa kata kunci janji populis yang ditawarkan, serta dibalut dengan frasa populer “demi kepentingan rakyat” atau frasa sejenis.

Menurut Aiginger (2019), nuansa semacam ini merupakan ciri khas populisme, yang mengedepankan retorika atas nama rakyat dan kepentingan bersama.

Hal ini tentu sudah dianggap lumrah secara politik, karena populisme telah lama menjadi bagian integral dalam sejarah politik Indonesia sejak era kemerdekaan.

Siklus dan polanya bersifat serial atau berulang sejak pemilu Reformasi pertama pada 1999 hingga saat ini.

Stankov dalam bukunya The Political Economy of Populism (2020) bahkan menyebutnya dengan istilah siklus populis (populist cycles), di mana isu-isu identitas dan variabel sosial-ekonomi memengaruhi pola pemilihan yang ekstrem (extreme voting patterns).

Dalam konteks politik, ketika pemilih dihadapkan pada isu-isu identitas, seperti etnis, agama, atau nasionalisme, serta variabel ekonomi seperti ketidaksetaraan ekonomi, mereka cenderung membuat keputusan pemilihan yang lebih ekstrem.

Dengan kata lain, masyarakat cenderung memberikan dukungan kuat kepada kandidat atau partai pengusung retorika populis yang menyoroti isu-isu identitas atau janji-janji ekonomi yang dramatis.

Namun, fenomena yang umum terjadi adalah fluktuasi dukungan publik, di mana pemilih beralih mendukung janji-janji populis selama kampanye pemilu, namun sering merasa kecewa dengan pelaksanaannya setelah pemilu berakhir.

Hal ini mencerminkan fakta bahwa janji-janji populis sering kali tidak sepenuhnya direalisasikan dalam tindakan nyata.

Di Indonesia, agenda populisme tak lepas dari konflik yang telah berlangsung sejak lama dalam konteks politik dan ekonomi.

Konflik ini melibatkan pertentangan antara tujuan-tujuan penting nasional seperti kemerdekaan nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan ekonomi.

Dalam artikel “Populisme Indonesia” (2019), Liddle menyatakan bahwa sejak pemilihan umum pertama pasca-Reformasi pada 1999 hingga saat ini, hampir setiap calon presiden berjanji untuk melanjutkan visi seperti yang pernah dipegang oleh Soekarno, dengan penekanan kemerdekaan dan kemandirian nasional.

Namun, setelah memenangkan pemilu, para presiden cenderung menerapkan pendekatan lebih pragmatis, lebih mirip dengan kebijakan ekonomi masa pemerintahan Soeharto, yaitu mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mempertahankan stabilitas ekonomi makro.

Sayangnya, banyak politisi cenderung melupakan perhitungan konsekuensi jangka panjang, walaupun mereka terinspirasi oleh semangat nasionalisme dari Orde Lama dan pragmatisme dari Orde Baru.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com