KASUS kehilangan barang penumpang bus Rosalia Indah yang viral di media sosial baru-baru ini menjadi contoh bagaimana tantangan perusahaan di era digital semakin kompleks.
Di era digital, konsumen memiliki akses luas untuk menyampaikan pengalamannya kepada publik. Kondisi ini dapat menjadi bumerang bagi perusahaan jika tidak dapat mengelola krisis dengan baik.
Selain itu, perusahaan juga perlu membangun kepercayaan dengan konsumen. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan layanan berkualitas dan responsif terhadap keluhan konsumen.
Baca juga: Jawaban Rosalia Indah soal Unggahan Viral iPad Penumpang Hilang di Bus
Dalam kasus ini, penumpang bus Rosalia Indah, Dino, mengeluhkan kehilangan satu set iPad miliknya saat menumpang bus Rosalia Indah dari Wonosobo ke Jakarta.
Dino awalnya melaporkan kehilangan barangnya kepada customer service Rosalia Indah, tetapi mendapat jawaban yang tidak diharapkan bahwa kehilangan bukan tanggung jawab armada bus Rosalia Indah.
Jawaban customer service (CS) Rosalia Indah tersebut tentu saja membuat Dino kecewa. Dino yang merupakan solo traveller menceritakan pengalamannya di media sosial X via akun @Widino dan unggahannya tersebut langsung viral.
Viralnya kasus ini tentu saja menjadi pukulan bagi reputasi Rosalia Indah. Perusahaan tersebut akhirnya meminta maaf atas kejadian tersebut dan berjanji akan melakukan investigasi.
Sejatinya ketika seorang costumer naik transportasi umum, mereka mengharapakan tiga layanan dasar, yaitu aman, nyaman, dan terjangkau. Dalam situasi tertentu, costumer berani membayar lebih mahal untuk mendapatkan ketiganya.
Di era digital keluhan serta respons negatif bukan hanya disampaikan melalui cerita berantai dari mulut ke mulut (word of mouth) dan jalur resmi perusahaan via costumer service, namun juga berkembang melalu media sosial sebagai tutur digital.
Baca juga: iPad Hilang di Rosalia Indah, Ini Tanda Pencuri Beraksi di Dalam Bus
Karena kini konsumen memiliki otoritas mandiri terhadap pesan dan informasi, pada akhirnya suatu kasus bisa berkembang dari cerita personal menjadi rangkaian peristiwa kolektif publik (story telling to be story making).
Dalam kasus tersebut juga kita melihat proses eskalasi kasus terjadi dari fase agenda publik kemudian menjadi agenda media.
Pembicaraan yang awalnya terjadi di publik, kemudian menjadi pembahasan di media arus utama. Hal ini terjadi karena kasus tersebut memiliki nilai berita, yaitu human interest.
Kasus ini menunjukkan bahwa perusahaan di era digital harus memiliki strategi pengelolaan krisis yang baik. Perusahaan perlu memiliki tim khusus yang menangani krisis dan memiliki prosedur jelas untuk menangani berbagai macam kasus.
Beberapa tantangan yang dihadapi perusahaan di era digital, konsumen memiliki akses yang luas untuk menyampaikan pengalamannya kepada publik. Hal ini dapat menjadi bumerang bagi perusahaan jika tidak dapat mengelola krisis dengan baik.
Di era digital, informasi dapat menyebar dengan cepat dan luas melalui media sosial dan platform digital lainnya. Hal ini dapat membuat krisis berkembang dengan cepat dan sulit dikendalikan.