Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jelang Debat Cawapres, Evaluasi Kebijakan Hilirisasi Perlu Dibahas

Kompas.com - 21/01/2024, 17:30 WIB
Yohana Artha Uly,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai para calon wakil presiden (cawapres) perlu membahas gagasan yang jelas terkait kebijakan hilirisasi di Indonesia untuk 5 tahun ke depan.

Hal ini seiring dengan akan diselenggarakannya debat cawapres kedua pada hari ini Minggu (21/1/2024) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tema debat kali ini, salah satunya terkait sumber daya dalam dan energi.

Menurut Fahmi, kebijakan hilirisasi yang saat ini dijalankan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum sepenuhnya berjalan maksimal. Lantaran, produk turunan dari program hilirisasi baru sampai tingkat pertama atau kedua.

Baca juga: Pengamat Prediksi Cawapres Bahas Ekonomi Berkelanjutan sampai SDM dalam Debat Keempat

Saat ini, salah satu komoditas yang sudah dijalankan kebijakan hilirisasi adalah nikel. Larangan ekspor bijih nikel dan pengolahan di dalam negeri dilakukan sejak 2020.

"Hilirisasi yang sudah dimulai oleh Jokowi yaitu dengan pelarangan ekspor bijih nikel, itu juga tidak cukup. Jadi selama ini hilirsasi itu baru sampai tahap produk turunan pada tingkat pertama, maksimal tingkat kedua," ujarnya kepada Kompas.com, dikutip Minggu (21/1/2024).

Padahal, kata dia, salah satu tujuan dari kebijakan hilirisasi adalah membangun ekosistem industri. Tapi menurut Fahmy, saat ini belum ada produk turunan yang mencapai tingkat akhir, misalnya baterai untuk kendaraan listrik.

Baca juga: Debat Ke-4 Akan Bahas Agraria, Serikat Petani Minta Cawapres Soroti Petani Gurem dan Reforma Agraria

"Saya berharap sesungguhnya hilirisasi itu menghasilkan salah satu produk andalan, yakni baterai yang akan digunakan untuk mobil listrik. Nyatanya sampai sekarang tidak, itu artinya ekosistem juga berhenti," kata dia.

Selain itu, program hilirisasi yang saat ini berjalan juga dinilai masih masih dominan menguntungkan negara lain, terutama China. Sebab, perusahaan smelter di Indonesia sebagian besar dari China sehingga penjualan produk hilirisasi nikel dibawa ke Negeri Tirai Bambu.

"Hilirisasi itu bukan (sepenuhnya menguntungkan) Indonesia tapi pada investor dari China, karena kan didominasi pemilik smelter China," kata dia.

Baca juga: Cawapres Harus Bahas Strategi Konkret Dorong Transisi Energi

Sebab perusahaan smelter rata-rata berasal dari China, maka tenaga kerjanya pun didatangkan dari negara tersebut. Kondisi ini juga dinilai Fahmy menunjukkan bahwa China lebih banyak diuntungkan saat ini.

Maka dari itu, dia menilai kebijakan hilirisasi perlu dievaluasi dan disempurkan kembali oleh presiden-wakil presiden yang akan memimpin Indonesia 5 tahun ke depan.

"Karena penikmat terbesar dari nilai tambah hilirisasi itu lebih banyak dari China, bahkan China membawa tenaga kerjanya, ini (kebijakan) yang harus dikoreksi," pungkasnya.

Baca juga: Disinggung Saat Debat Cawapres, Indonesia Peringkat 3 di SGIE

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com