Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Rafi Bakri
PNS BPK

Analis Data dan Keuangan Badan Pemeriksa Keuangan

Menyoal "Single Salary" ASN

Kompas.com - 31/01/2024, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENJELANG pemilu 2024, banyak sekali janji manis pemerintah guna menarik perhatian masyarakat. Salah satunya penerapan kebijakan single salary pada Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kebijakan ini bertujuan memangkas gap gaji dan tunjangan antarkementerian maupun antardaerah. Tentu saja janji ini sangat cocok untuk menggaet ASN yang mayoritas masuk ke dalam masyarakat kalangan menengah.

Meski demikian, masyarakat mempertanyakan kelayakan penerapan kebijakan single salary. Apakah single salary sudah tepat untuk mengatasi ketimpangan dan disparitas gaji ASN saat diterapkan?

Awalnya, penerapan kebijakan single salary akan meningkatkan belanja pegawai dalam APBN dan daerah. Sebab, gaji pegawai dapat meningkatkan remunerasi ASN sehingga menambah beban fiskal yang ditanggung negara.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, alokasi belanja pegawai pada APBD 2023 diperkirakan sebesar Rp 426,78 triliun atau 33,2 persen keseluruhan belanja.

Pos ini memiliki jumlah terbesar dalam APBD, melampaui belanja barang dan jasa (28,75 persen), belanja modal (16,57 persen), dan belanja lain-lain (21,48 persen).

Kondisi ekstrem tersebut juga terjadi di pemerintah level daerah. Berdasarkan data APBD 2022, Jawa Timur mempunyai belanja pegawai paling besar. Nilainya mencapai Rp 40 triliun atau mencakup 32,2 persen seluruh belanja daerah.

Sebaliknya, Kalimantan Utara hanya melaporkan belanja pegawai sebesar Rp 3 triliun. Dari segi belanja pegawai, Kalimantan Utara merupakan provinsi yang paling boros dibandingkan provinsi lain dengan belanja per kapita sebesar Rp 3.178.000.

Papua Barat dan Papua berada di peringkat belakang, dengan pengeluaran per kapita masing-masing sebesar Rp 3.642.000 dan Rp 2.971.000.

Ditelusuri lebih lanjut, daerah dengan belanja pegawai per kapita tinggi mempunyai tingkat kemandirian fiskal rendah.

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK (2019), hanya delapan provinsi yang bisa dikatakan mandiri secara fiskal. DKI Jakarta memiliki tingkat independensi tertinggi, yaitu pada peringkat 0,71.

Meskipun Kalimantan Utara memiliki belanja pegawai per kapita yang sangat besar, tetapi tingkat kemandirian fiskalnya hanya sebesar 0,25.

Selain itu, perlu dicatat bahwa rata-rata indeks kemandirian fiskal pada tingkat provinsi di Indonesia berada pada angka 0,36, sedangkan pada tingkat kabupaten/kota hanya sebesar 0,11.

Penerapan single salary dapat mengakibatkan peningkatan belanja pegawai dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Keadaan ini membuat keuangan publik tidak tepat guna karena sebagian besar dana tersebut tidak disalurkan kepada masyarakat. Hanya ASN yang diuntungkan dari belanja pegawai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com