PEMILIHAN presiden tinggal menghitung hari. Masing-masing kandidat telah menyampaikan gagasannya. Salah satu yang layak menjadi sorotan adalah visi perpajakan.
Tak dapat dipungkiri, arah kebijakan pajak berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Setiap perubahan dalam regulasi pajak memengaruhi besar penghasilan dan harga komoditas yang kita hadapi.
Tak ayal, pajak selalu menjadi topik yang menarik perhatian publik, terutama dalam kontestasi politik tahun ini. Menjelang pilpres mendatang, seluruh pasangan calon (paslon) masih sepakat pada satu agenda yang sama terkait perpajakan: rasio pajak harus ditingkatkan.
Paslon nomor 1, Anies Baswedan–Muhaimin Iskandar, menargetkan rasio pajak sebesar 13-16 persen pada 2029.
Paslon nomor 2, Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming, mematok target lebih tinggi di 23 persen.
Adapun paslon nomor 3, Ganjar Pranowo–Mahfud MD, dalam beberapa kesempatan tim suksesnya menyatakan target sebesar 14-16 persen (Harian Kompas, 16/1/2024).
Namun, apa sebenarnya arti dari peningkatan rasio pajak tersebut?
Dalam studi tahun 2022, Lembaga Survei Indonesia menemukan hanya 50 persen dari masyarakat yang memahami literasi perpajakan. Oleh karena itu, penting bagi publik untuk memahami makna dan implikasi dari kenaikan rasio pajak.
Sejatinya, rasio pajak merupakan indikator utama dalam menilai keberhasilan pemerintah mengumpulkan penerimaan pajak. Nilainya dihitung sebagai persentase dari pendapatan pajak terhadap skala perekonomian yang diukur dengan produk domestik bruto.
Dengan kata lain, rasio pajak mencerminkan seberapa besar pendapatan nasional yang beralih ke pundi penerimaan pajak. Setiap satu persen rasio pajak menandakan bahwa satu persen pendapatan masyarakat masuk ke kas negara.
Saat ini, dengan penerimaan perpajakan tahun lalu mencapai Rp 2.155 triliun, rasio pajak masih berada di 10,21 persen. Angka ini jauh di bawah batas aman yang ditetapkan Bank Dunia sebesar 15 persen, dan sangat rendah dibanding rata-rata Asia Pasifik yang hampir mencapai 20 persen.
Agar rasionya meningkat, penerimaan pajak tidak hanya harus terus bertambah setiap tahun, tapi juga tumbuh lebih cepat dibanding pertumbuhan ekonomi.
Tahun ini, target pajak dalam APBN tumbuh 6,4 persen, melebihi proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen.
Penerimaan pajak tahun ini harus mencapai target senilai Rp 2.309 triliun agar rasio pajak bisa naik signifikan. Hal ini memungkinkan mengingat penerimaan pajak selama tiga tahun terakhir senantiasa berhasil melebihi target. Namun, tetap ada dilema tersendiri.
Memenuhi target perpajakan tidak selalu berarti rasio pajak akan ikut naik. Contohnya, tahun lalu, realisasi penerimaan pajak mencapai 108,8 persen dari target, namun rasio pajak justru turun sebesar 0,18 persen dibanding 2022.