Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arip Muttaqien
Akademisi, Peneliti, dan Konsultan

Doktor ekonomi dari UNU-MERIT/Maastricht University (Belanda). Alumni generasi pertama beasiswa LPDP master-doktor. Pernah bekerja di ASEAN Secretariat, Indonesia Mengajar, dan konsultan marketing. Saat ini berkiprah sebagai akademisi, peneliti, dan konsultan. Tertarik dengan berbagai topik ekonomi, pembangunan berkelanjutan, pembangunan internasional, Asia Tenggara, monitoring-evaluasi, serta isu interdisiplin. Bisa dihubungi di https://www.linkedin.com/in/aripmuttaqien/

Obligasi Alternatif Pembiayaan Pembangunan Berkelanjutan

Kompas.com - 22/05/2024, 10:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TUJUAN Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) merupakan komitmen global yang diemban oleh negara-negara di seluruh dunia.

SDGs berperan sebagai kerangka utama dalam pembangunan global dan perkembangannya terus dipantau secara berkala.

Salah satu tantangan utama dalam pencapaian SDGs adalah kebutuhan pembiayaan yang signifikan.

Menurut “2024 Financing for Sustainable Development Report: Financing for Development at a Crossroads (FSDR 2024)”, yang mengkutip OECD, diperkirakan bahwa 2,5 triliun dollar AS per tahun diperlukan untuk memenuhi target-target SDGs.

Namun, dampak pandemi COVID-19 telah meningkatkan kebutuhan tersebut menjadi 4,2 triliun dollar AS per tahun.

Di Indonesia, pascapandemi COVID-19, kebutuhan dana untuk mencapai SDGs hingga tahun 2030 diperkirakan mencapai Rp 122.000 triliun, dengan defisit pembiayaan yang mencapai Rp 24.000 triliun.

Angka ini meningkat pesan dibandingkan sebelum pandemi, yang diperkirakan butuh Rp 66.000 triliun dan defisit pembiayaan sebesar Rp 14.000 triliun.

Situasi ini menunjukkan perlunya strategi pembiayaan yang inovatif dan kolaborasi antarsektor untuk mengatasi kesenjangan tersebut.

Obligasi SDG

Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mengeluarkan obligasi SDG, yang dikenal sebagai SDG Bond, dengan nilai 500 juta Euro pada September 2021.

Menurut "SDG Bond Allocation and Impact Report 2022", obligasi ini memiliki tenor 12 tahun dengan kupon tahunan sebesar 1,3 persen dan yield sebesar 1,35 persen.

Berdasarkan laporan tersebut, dana yang diperoleh dari investor telah digunakan untuk membiayai tiga jenis kegiatan utama.

Pertama, pembiayaan imunisasi dasar meliputi MR, DPT-HB-Hib, BCG, dan polio untuk 30 juta balita, khususnya dari keluarga rentan terhadap penyakit menular.

Kedua, pendanaan untuk Program Indonesia Pintar (PIP) di Madrasah Ibtidaiyah yang dikelola oleh Kementerian Agama, serta Kegiatan Belajar (Kejar) Paket A yang dikelola oleh Kemendikbudristekdikti.

Lebih dari 11 juta siswa mendapat manfaat dari program ini, termasuk lebih dari 28.000 siswa penyandang disabilitas dan lebih dari 9.000 siswa di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Ketiga, pembangunan menara base transceiver station (BTS) untuk meningkatkan akses komunikasi di wilayah 3T, dengan skema kerja sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com