Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suku Bunga Acuan BI Diprediksi Tak Lebih dari 6,25 Persen hingga Akhir 2024

Kompas.com - 27/05/2024, 06:57 WIB
Isna Rifka Sri Rahayu,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memperkirakan Bank Indonesia (BI) tak akan menaikkan suku bunga acuannya di atas 6,25 persen sampai akhir 2024.

Bahkan ada kemungkinan BI menurunkan suku bunga acuannya yang saat ini sebesar 6,25 persen menjadi hingga 5,75 persen. Sebab, bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed berpotensi memangkas suku bunga acuannya hingga dua kali di tahun ini.

"Saat ini pasar masih memperkirakan ada potensi pemangkasan Fed Fund Rate satu hingga dua kali, sehingga kami memperkirakan BI Rate dapat berada di kisaran 5,75 sampai 6,25 persen di akhir tahun," ujar Portfolio Manager, Fixed Income MAMI Laras Febriany dalam keterangan tertulis, Minggu (26/5/2024).

Baca juga: Kondisi Perekonomian Global Membaik, BI Pertahankan Suku Bunga Acuan 6,25 Persen

Ilustrasi Bank Indonesia (BI). SHUTTERSTOCK/HARISMOYO Ilustrasi Bank Indonesia (BI).

Dia bilang, kebijakan BI ke depannya akan bergantung pada kondisi pasar global yang dapat mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah.

Apabila data ekonomi dan inflasi AS mereda, kondisi ini dapat mengurangi tekanan penguatan Dolar AS sehingga BI tidak perlu menaikkan suku bunga.

"Selain dari tekanan rupiah kami melihat tidak ada faktor lain yang dapat memicu BI untuk menaikkan suku bunga, terutama karena inflasi domestik masih terjaga," jelasnya.

Mengutip laman resmi BI, bank sentral terakhir kali menaikkan suku bunga acuan pada April 2024 dari 6 persen menjadi 6,25 persen dan angka ini masih dipertahankan hingga bulan ini.

Baca juga: Kenaikan BI Rate Jadi 6,25 Persen Tidak Perlu Dikhawatirkan

Menurutnya, keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan merupakan langkah yang tepat karena dinilai dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Seperti diketahui, depresiasi atau pelemahan rupiah yang signifikan dapat menyebabkan risiko kenaikan harga barang dan bahan baku yang diimpor karena pelemahan rupiah atau disebut dengan istilah imported inflation.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com