Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Antara Emisi, Pajak, dan Transaksi Karbon

Sebagai negara yang mempunyai hutan tropis terbesar ketiga di dunia, setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo- melansir World Resources Institute dan Global Forest Review, pada 2002 hingga 2020- Indonesia masuk ke dalam jajaran empat negara dengan angka pembabatan hutan tropis terbesar di dunia.

Indonesia menduduki urutan kedua, setelah Brasil dengan angka pembabatan hutan tropis mencapai 9,7 juta hektar.

Penelitian Departemen Teknik Sipil di University of Hongkong and Southtern University of Science and Technology mendeteksi hilangnya karbon tropis selama dua dekade terakhir karena penggundulan hutan yang berlebihan.

Kehilangan simpanan karbon hutan tropis di seluruh dunia naik 0,97 miliar ton per tahun pada 2015-1019, menjadi 1,99 miliar ton per tahun.

Menurut riset The Nature Conservancy di jurnal Nature Sustainability tahun 2021, gambut Indonesia -khususnya di Kalimantan dan Papua- punya simpanan karbon yang amat besar.

Demikan pula mangrove sebagai habitat karbon biru, yang luasnya seperempat mangrove dunia. Kawasan pesisir Indonesia menyimpan cadangan karbon besar, 3-5 kali cadangan hutan daratan yang terlebat.

Hutan sekunder mangrove juga dinilai menyimpan karbon 54,1- 182,5 ton per hektar.

Penyebab krisis iklim adalah pemanasan global. Pemanasan global dipicu oleh emisi karbon di atmosfer.

Penyebab terbesar emisi karbon adalah alih fungsi hutan untuk kepentingan non kehutanan. Perubahan fungsi hutan menjadi non kehutanan menyumbang 48 persen emisi karbon.

Menyusul karbon dari transportasi 21 persen, kebakaran 12 persen, limbah pabrik 11 persen, pertanian 5 persen dan sektor industri 3 persen.

Krisis iklim menambah parah bencana kelaparan. Sepuluh titik pusat krisis iklim terparah adalah Afghanistan, Burkina Faso, Djibouti, Guatemala, Haiti, Kenya, Madagaskar, Nigeria, Somalia dan Zimbabwe. Bagaimana dengan Indonesia?

Krisis iklim di Indonesia dampaknya terasa dengan berubahnya pola cuaca. Tidak terdeteksi lagi batasan antara musim hujan dan kemarau.

Bulan September 2022 lalu, mestinya Indonesia memasuki puncak musim kemarau dengan indikator munculnya titik api (hot spot) di Kalimantan dan Sumatera. Namun faktanya kemarau kali ini adalah kemarau basah yang membawa hujan.

Memasuki tahun 2023, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) meramalkan bahwa kemarau tahun ini datang lebih cepat dan panjang dibandingkan dengan 2022.

Oleh karena itu, dihimbau para pihak agar mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di daerah yang menjadi langganan adanya kabut asap yang sering terjadi di saat musim kemarau.

Krisis iklim ini juga sedikit banyak akan mengganggu ketahanan pangan Indonesia, di tengah mahalnya harga pangan global. Ketahanan pangan harus menjadi prioritas pemerintah demi menjaga pemerataan dan kesejahteraan rakyat.

Indonesia beruntung sebagai negara tropis mempunyai hutan tropika basah sangat luas (120,3 juta hektar) yang menjadi benteng krisis iklim yang kokoh.

Syaratnya adalah kawasan hutan tropis tersebut dapat dijaga dan dikelola secara lestari (sustainable), laju deforestasi dapat dikendalikan dan deforestasi dapat ditangani dengan segera dan baik.

Dengan posisi dan peran Indonesia yang begitu strategis dalam pengendalian krisis iklim global, wajar apabila potensi ekonomi karbon dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi hijau Indonesia melalui pajak karbon dan perdagangan karbon.

Pajak karbon

Untuk pertama kali, emisi karbon dianggap berdampak negatif bagi lingkungan hidup karena itu perlu dikenai pajak.

Dalam UU Nomor 7/2021, pajak karbon disejajarkan dengan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPn), dan cukai.

Subjek pajak karbon, yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu dan ditentukan pada saat, a) pembelian barang yang mengandung karbon; b) pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu; atau c) saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga di pasar karbon per kilogram setara karbon dioksida.

Dalam penjelasan pasal 13 ayat 3 UU Nomor 7/2021, disebutkan bahwa tahun 2022-2024 mekanisme pajak berdasarkan pada batas emisi (cap and trade) untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Sedangkan tahun 2025 dan seterusnya, pajak karbon mengikuti implementasi perdagangan karbon.

Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak yang dihasilkan dapat mencapai Rp 26 triliun hingga Rp 53 triliun atau 0,2 persen hingga 0,3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dengan asumsi tarif pajak sekitar 5 - 10 dollar AS per ton CO2 yang mencakup 60 persen emisi energi.

Potensi pajak karbon yang begitu besar dapat digunakan untuk pendanaan pengendalian krisis iklim kedepan, khususnya penanganan deforestasi melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang membutuhkan anggaran sangat besar.

Sayangnya, pemerintah menunda penerapan pajak karbon dua kali. Tadinya, pajak karbon akan berlaku 1 April 2022. Lalu diundur menjadi 1 Juli 2022.

Invasi Rusia ke Ukraina menjadi dalih bagi pemerintah menunda penerapan pajak karbon entah sampai kapan.

Perang Rusia-Ukraina membuat ekonomi jadi tak menentu karena pasokan energi dan pangan terganggu. Banyak aspek yang harus dikaji dalam penerapan pajak karbon.

Banyak kementerian atau lembaga yang terkait dengan aturan baru ini. Kementerian Keuangan akan memungut pajak, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan menetapkan batas emisi sektor energi.

Lalu ada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengatur perdagangan karbonnya. Implikasi paling serius dari penundaan pajak karbon adalah kemungkinan tidak tercapainya target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia.

Pada dokumen nationally determined contribution (NDC) Indonesia akan menurunkan emisi sebesar 29 persen pada 2030. Sektor kehutanan akan menurunkan emisi paling besar, yakni 17,2 persen.

Transaksi karbon

Perdagangan karbon merupakan salah satu instrumen menurunkan emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim.

Regulasi yang mengatur perdagangan atau transaksi karbon adalah Peraturan Presiden (Perpres) no. 98/2021 yang mengatur soal mekanisme perdagangan karbon dan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) no. 21/2022 soal aturan teknis perdagangan karbon.

Dalam Peraturan 21/2022, emisi yang diperdagangkan adalah emisi gas rumah kaca yang dihitung dengan pengukuran yang disepakati.

Pada dasarnya, perdagangan emisi dalam peraturan ini ada empat: perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja (result-based payment), pungutan atas karbon, dan mekanisme lain sesuai perkembangan ilmu dan teknologi.

Perdagangan karbon disebut juga perdagangan emisi. Terdapat dua jenis perdagangan emisi yang diakui oleh peraturan ini:

1. Cap and trade, yakni perdagangan karbon antar dan lintas sektor para pelaku usaha.

Ada lima sektor yang ditetapkan sesuai dengan NDC: energi, kehutanan dan penggunaan lahan, pertanian, limbah, serta industri dan proses produksi.

Menteri tiap sektor menetapkan batas emisi (cap) yang boleh diproduksi oleh tiap pelaku usaha. Mereka yang memproduksi emisi lebih dari batas itu, wajib membeli kelebihannya kepada mereka yang memproduksi emisi lebih rendah dari batas tersebut.

2. Carbon offset, yakni pengimbangan emisi untuk sektor yang tak memiliki kuota.

Mereka yang memproduksi emisi lebih besar dari baseline, bisa membeli kelebihan emisi tersebut kepada mereka yang menyediakan usaha penyerapan karbon.

Offset emisi bisa dilakukan melalui bursa karbon atau perdagangan langsung antar penjual dan pembeli.

Perlu diketahui bahwa skema perdagangan karbon dapat dilakukan antar negara (G to G), pemegang izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (perdagangan karbon) (IUPJL) dengan perusahaan lain di luar negeri yang membutuhkannya (B to B) atau pengalaman menarik diperoleh dari masyarakat yang mendiami desa-desa sekitar kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba) seluas 5.339 hektar yang dikelola warga lima desa di Kabupaten Bungo.

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2018, mendaftarkan Bujang Raba ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo.

Dari perhitungan KKI Warsi, pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton per hektare atau 1,052 ton setara CO2 per hektare.

Sementara G to G, pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Norwegia. Kedua pemerintah menetapkan perjanjian kerja sama pengurangan emisi melalui penyerapan dan penyimpanan emisi.

Bentuknya berupa kegiatan pencegahan deforestasi dan degradasi lahan. Kinerja mencegah deforestasi itu dihargai per unit karbon yang bisa dihindarkan menjadi gas rumah kaca.

Norwegia membayar pencegahan deforestasi 2016-2017 sebesar 54 juta dollar AS atau 5 dollar AS per ton karbon setara CO2.

Karena itu pembeli karbon dalam pembayaran berbasis kinerja atau result based payment adalah negara atau lembaga donor ke pemerintah pusat, atau internasional ke pemerintah daerah melalui pemerintah pusat.

Selebihnya nasib succes story tentang perdagangan karbon belum ada lagi karena regulasi tentang teknis perdagangan karbon juga baru disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly pada 20 Oktober 2022 lalu.

Nasib perdagangan karbon juga tidak jauh berbeda dengan pajak karbon, masih jauh dari harapan.

https://money.kompas.com/read/2023/02/02/091403026/antara-emisi-pajak-dan-transaksi-karbon

Terkini Lainnya

CIMB Niaga Cetak Laba Sebelum Pajak Rp 2,2 Triliun pada Kuartal I-2024

CIMB Niaga Cetak Laba Sebelum Pajak Rp 2,2 Triliun pada Kuartal I-2024

Whats New
Rincian Tarif Listrik per kWh Berlaku Mei 2024

Rincian Tarif Listrik per kWh Berlaku Mei 2024

Whats New
Inflasi AS Sulit Dijinakkan, The Fed Pertahankan Suku Bunga

Inflasi AS Sulit Dijinakkan, The Fed Pertahankan Suku Bunga

Whats New
The Fed Tahan Suku Bunga, Mayoritas Saham di Wall Street Melemah

The Fed Tahan Suku Bunga, Mayoritas Saham di Wall Street Melemah

Whats New
IHSG Diperkirakan Melemah Hari Ini, Simak Analisis dan Rekomendasi Sahamnya

IHSG Diperkirakan Melemah Hari Ini, Simak Analisis dan Rekomendasi Sahamnya

Whats New
5 Cara Tarik Tunai DANA di Alfamart, IndoMaret, dan ATM

5 Cara Tarik Tunai DANA di Alfamart, IndoMaret, dan ATM

Spend Smart
Hari Buruh dan Refleksi Ketimpangan Gender

Hari Buruh dan Refleksi Ketimpangan Gender

Whats New
Punya Aset Rp 224,66 Triliun, LPS Siap Jamin Klaim Simpanan Bank Tutup

Punya Aset Rp 224,66 Triliun, LPS Siap Jamin Klaim Simpanan Bank Tutup

Whats New
Tak Lagi Khawatir Lupa Bawa Uang Tunai Berbelanja di Kawasan Wisata Samosir

Tak Lagi Khawatir Lupa Bawa Uang Tunai Berbelanja di Kawasan Wisata Samosir

Whats New
Info Limit Tarik Tunai BCA Sesuai Jenis Kartu ATM Lengkap

Info Limit Tarik Tunai BCA Sesuai Jenis Kartu ATM Lengkap

Spend Smart
3 Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu BCA, Penting Saat Lupa Bawa di ATM

3 Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu BCA, Penting Saat Lupa Bawa di ATM

Earn Smart
[POPULER MONEY] Serikat Pekerja Tuntut Naik Upah, Menaker Balik Tuntut Kenaikan Kompetensi | Luhut Janji Microsoft Tak Akan Menyesal Investasi Rp 27,6 Triliun di Indonesia

[POPULER MONEY] Serikat Pekerja Tuntut Naik Upah, Menaker Balik Tuntut Kenaikan Kompetensi | Luhut Janji Microsoft Tak Akan Menyesal Investasi Rp 27,6 Triliun di Indonesia

Whats New
Cara Bayar Tagihan FIF di ATM BCA, BRI, BNI, Mandiri, dan BTN

Cara Bayar Tagihan FIF di ATM BCA, BRI, BNI, Mandiri, dan BTN

Spend Smart
Bank Mandiri Tegaskan Tetap Jadi Pemegang Saham Terbesar BSI

Bank Mandiri Tegaskan Tetap Jadi Pemegang Saham Terbesar BSI

Whats New
Cek Jadwal Pembagian Dividen Astra Otoparts

Cek Jadwal Pembagian Dividen Astra Otoparts

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke